Seorang ilmuwan saraf terkemuka (neuroscientist) yang dihormati atas karya ilmiahnya terkait dasar-dasar biologis seorang psikopat menguak fakta menarik: ia termasuk dalam golongan 'orang sakit jiwa'.
James Fallon, nama ilmuwan saraf itu, mengungkap dalam bukunya, The Psychopath Inside tentang kisah bagaimana para peneliti dari University of California, Irvine mendapatkan kesimpulan mengejutkan pada 2005, saat menelaah hasil pemindaian PET (Positron Emission Tomography) para pembunuh, penderita skizofrenia, penderita depresi, dibandingkan dengan otak sejumlah orang normal.
Secara khusus, Fallon dan timnya ingin mempelajari fungsi area di otak yang terkait empati, moralitas, dan pengendalian diri. Pada psikopat, ia yakin, area tersebut hanya memiliki sedikit aktivitas.
"Secara tak sengaja, saat itu, saya juga melakukan penelitian tentang Alzheimer. Sebagai bagian dari itu aku punya tumpukan hasil scan otakku sendiri, dan semua orang dalam keluargaku di meja," kata Fallon kepada Smithsonian Magazine, seperti dikutip dari Fox News, 24 November 2013.
"Saya mengambil hasil scan di bawah tumpukan, dan melihat dengan jelas itu sangat patologis."
Saat membalik scan tersebut, Fallon terkejut bukan kepalang. Itu miliknya.
"Saya tak pernah membunuh atau memerkosa siapapun," kata Fallon, yang mendapatkan gelar doktor dari University of Illinois pada 1975. "Jadi saya pikir mungkin hipotesisku salah. Bahwa area otak tersebut tak mencerminkan perilaku psikopat dan pembunuh."
Namun, perkiraan itu salah.
Belakangan terkuak, Fallon dilaporkan berkaitan darah dengan 7 tersangka pembunuhan termasuk Lizzie Borden -- yang diadili dan kemudian dibebaskan dalam kasus pembunuhan ayah dan ibu tirinya menggunakan kapak di Massachusetts pada 1892.
NPR juga melaporkan salah satu kakek buyut Fallon, Thomas Cornell digantung lebih dari 300 tahun lalu karena membunuh ibunya. Lizzie Borden dan Thomas Cornell masih kerabat.
Pada 2010, ibu Fallon yang saat itu berusia 88 tahun, Jenny Fallon, mengaku suatu hari ia pernah meminta pada putranya dalam acara barbekyu keluarga untuk meninjau masalah mengenai Borden dan Cornell. "Aku berkata, 'Jim mengapa kau tak mencari tahu tentang kerabat ayahmu?"
Lalu, pengujian genetik selanjutnya mendukung teori ibunya, juga hasil pemindaian PET. "Saya punya semua risiko tinggi untuk agresi, kekerasan, dan empati rendah," kata Fallon.
"Saya orang yang kompetitif sampai level menyebalkan. Saya bahkan tak akan membiarkan cucuku memenangkan permainan... dan aku tega melakukan hal-hal yang membuat orang terkencing-kencing," kata Fallon. "Namun, meski aku agresif, aku lebih suka 'menghantam' seseorang dengan argumen daripada memukulnya."
Fallon, yang sebelumnya meyakini faktor genetika akan menentukan jalan hidup seseorang, kini berubah sikap.
"Saya dicintai dan itu yang melindungiku," kata Fallon mengungkap pengasuhan orangtua yang menyayanginya. Ia juga menyebut, kehendak bebas seseorang bisa melampaui 'takdir' biologisnya.
"Sejak menemukan fakta itu, saya melakukan segala upaya untuk mengubah sikap," kata Fallon. "Saya lebih sadar untuk melakukan sesuatu yang dianggap baik dan lebih mempertimbangkan perasaan orang lain. Pada saat bersamaan, saya tak melakukannya karena saya baik, tapi karena kebanggaan -- saya bisa menunjukkan pada semua orang, juga diri sendiri, bahwa saya bisa melakukannya." (Ein/Yus)
James Fallon, nama ilmuwan saraf itu, mengungkap dalam bukunya, The Psychopath Inside tentang kisah bagaimana para peneliti dari University of California, Irvine mendapatkan kesimpulan mengejutkan pada 2005, saat menelaah hasil pemindaian PET (Positron Emission Tomography) para pembunuh, penderita skizofrenia, penderita depresi, dibandingkan dengan otak sejumlah orang normal.
Secara khusus, Fallon dan timnya ingin mempelajari fungsi area di otak yang terkait empati, moralitas, dan pengendalian diri. Pada psikopat, ia yakin, area tersebut hanya memiliki sedikit aktivitas.
"Secara tak sengaja, saat itu, saya juga melakukan penelitian tentang Alzheimer. Sebagai bagian dari itu aku punya tumpukan hasil scan otakku sendiri, dan semua orang dalam keluargaku di meja," kata Fallon kepada Smithsonian Magazine, seperti dikutip dari Fox News, 24 November 2013.
"Saya mengambil hasil scan di bawah tumpukan, dan melihat dengan jelas itu sangat patologis."
Saat membalik scan tersebut, Fallon terkejut bukan kepalang. Itu miliknya.
"Saya tak pernah membunuh atau memerkosa siapapun," kata Fallon, yang mendapatkan gelar doktor dari University of Illinois pada 1975. "Jadi saya pikir mungkin hipotesisku salah. Bahwa area otak tersebut tak mencerminkan perilaku psikopat dan pembunuh."
Namun, perkiraan itu salah.
Belakangan terkuak, Fallon dilaporkan berkaitan darah dengan 7 tersangka pembunuhan termasuk Lizzie Borden -- yang diadili dan kemudian dibebaskan dalam kasus pembunuhan ayah dan ibu tirinya menggunakan kapak di Massachusetts pada 1892.
NPR juga melaporkan salah satu kakek buyut Fallon, Thomas Cornell digantung lebih dari 300 tahun lalu karena membunuh ibunya. Lizzie Borden dan Thomas Cornell masih kerabat.
Pada 2010, ibu Fallon yang saat itu berusia 88 tahun, Jenny Fallon, mengaku suatu hari ia pernah meminta pada putranya dalam acara barbekyu keluarga untuk meninjau masalah mengenai Borden dan Cornell. "Aku berkata, 'Jim mengapa kau tak mencari tahu tentang kerabat ayahmu?"
Lalu, pengujian genetik selanjutnya mendukung teori ibunya, juga hasil pemindaian PET. "Saya punya semua risiko tinggi untuk agresi, kekerasan, dan empati rendah," kata Fallon.
"Saya orang yang kompetitif sampai level menyebalkan. Saya bahkan tak akan membiarkan cucuku memenangkan permainan... dan aku tega melakukan hal-hal yang membuat orang terkencing-kencing," kata Fallon. "Namun, meski aku agresif, aku lebih suka 'menghantam' seseorang dengan argumen daripada memukulnya."
Fallon, yang sebelumnya meyakini faktor genetika akan menentukan jalan hidup seseorang, kini berubah sikap.
"Saya dicintai dan itu yang melindungiku," kata Fallon mengungkap pengasuhan orangtua yang menyayanginya. Ia juga menyebut, kehendak bebas seseorang bisa melampaui 'takdir' biologisnya.
"Sejak menemukan fakta itu, saya melakukan segala upaya untuk mengubah sikap," kata Fallon. "Saya lebih sadar untuk melakukan sesuatu yang dianggap baik dan lebih mempertimbangkan perasaan orang lain. Pada saat bersamaan, saya tak melakukannya karena saya baik, tapi karena kebanggaan -- saya bisa menunjukkan pada semua orang, juga diri sendiri, bahwa saya bisa melakukannya." (Ein/Yus)