Produk seng gelombang impor yang tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) kian marak beredar di pasar Indonesia. Hal ini berdampak mematikan industri seng dalam negeri. Hal ini karena harga jual seng impor tersebut jauh lebih murah dibanding buatan lokal.
"Bayangkan industri ini mengalami kerugian Rp 87,5 miliar per bulan, sehingga banyak yang tutup, itu terhitung sejak 2010," ujar Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Standarisasi Produk Azis Pane saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (26/11/2013).
Dia mencatatkan, akibat kalah bersaing sebanyak 2 hingga 4 perusahaan memilih untuk berhenti produksi. "Ini anehnya malah ada industri yang tutup malah ikut memperdagangkan seng tidak ber-SNI ini," lanjutnya.
Wakil Ketua Umum II Gabungan Pabrik Seng Indonesia (Gapsi) Agus Salim menjelaskan, selisih harga antara seng gelombang non SNI dan SNI ini mencapai Rp 3.500 per lembar.
"Jadi biaya produksi kami itu mencapai Rp 33 ribu-Rp 34 ribu per lembar, sedangkan mereka jual dengan harga Rp 29 ribu per lembar. Dalam perdagangan kami selisih Rp 500 per lembar saja sudah besar sekali," katanya.
Menurut Agus, produk seng ini sebenarnya banyak ditujukan untuk masyarakat kalangan menegah ke bawah. Namun masyarakat akan sangat rugi jika menggunakan seng non SNI karena memiliki kualitas buruk dengan ketahanan umur pemakaian hanya 1 tahun, sedangkan seng SNI memiliki umur hingga 10 tahun.
"Produk seng ini umurnya tidak ada yang mencapai 1 tahun penggunaan, apalagi jika digunakan di wilayah perkotaan yang tingkat korosinya tinggi. Belum sampai 1 tahun pasti sudah harus ganti lagi, ini tidak sampai 10% pemakaian sudah rusak," jelasnya.
Hingga saat ini total perdagangan seng secara nasional mencapai 25 juta lembar per bulan. Indonesia dinilai menjadi pasar yang menguntungkan bagi produsen seng luar negeri yang mengimpor produknya ke dalam negeri. (Dny/Nur)
"Bayangkan industri ini mengalami kerugian Rp 87,5 miliar per bulan, sehingga banyak yang tutup, itu terhitung sejak 2010," ujar Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Standarisasi Produk Azis Pane saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (26/11/2013).
Dia mencatatkan, akibat kalah bersaing sebanyak 2 hingga 4 perusahaan memilih untuk berhenti produksi. "Ini anehnya malah ada industri yang tutup malah ikut memperdagangkan seng tidak ber-SNI ini," lanjutnya.
Wakil Ketua Umum II Gabungan Pabrik Seng Indonesia (Gapsi) Agus Salim menjelaskan, selisih harga antara seng gelombang non SNI dan SNI ini mencapai Rp 3.500 per lembar.
"Jadi biaya produksi kami itu mencapai Rp 33 ribu-Rp 34 ribu per lembar, sedangkan mereka jual dengan harga Rp 29 ribu per lembar. Dalam perdagangan kami selisih Rp 500 per lembar saja sudah besar sekali," katanya.
Menurut Agus, produk seng ini sebenarnya banyak ditujukan untuk masyarakat kalangan menegah ke bawah. Namun masyarakat akan sangat rugi jika menggunakan seng non SNI karena memiliki kualitas buruk dengan ketahanan umur pemakaian hanya 1 tahun, sedangkan seng SNI memiliki umur hingga 10 tahun.
"Produk seng ini umurnya tidak ada yang mencapai 1 tahun penggunaan, apalagi jika digunakan di wilayah perkotaan yang tingkat korosinya tinggi. Belum sampai 1 tahun pasti sudah harus ganti lagi, ini tidak sampai 10% pemakaian sudah rusak," jelasnya.
Hingga saat ini total perdagangan seng secara nasional mencapai 25 juta lembar per bulan. Indonesia dinilai menjadi pasar yang menguntungkan bagi produsen seng luar negeri yang mengimpor produknya ke dalam negeri. (Dny/Nur)