Kisah Perempuan Malaysia: Raib dan Jadi `Budak` Selama 30 Tahun

Polisi Inggris menyelamatkan 3 perempuan yang disekap selama lebih dari 30 tahun. Salah satunya dari Malaysia.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 27 Nov 2013, 00:23 WIB
Kamis pekan lalu, polisi menyelamatkan 3 perempuan dalam kondisi trauma berat dari sebuah rumah di Inggris. Mereka mengaku disekap dan diperbudak selama lebih dari 30 tahun. Salah satunya bahkan belum pernah melihat dunia luar. [Baca juga: 3 Perempuan Disekap Lebih dari 30 Tahun di Inggris, Jadi `Budak`]

Ada di antara para korban adalah perempuan asal Malaysia berusia 69 tahun. Siapa identitas korban belum dikuak, namun, sebuah keluarga di negeri jiran mengklaimnya sebagai kerabat.

Kamar Mautum, pensiunan guru, yakin benar korban adalah adiknya yang bernama Aishah, yang hilang tanpa jejak setelah bergabung dengan kelompok Maois -- pengikut ajaran Mao Zedong -- yang berhaluan komunis. Insiden yang membuat keluarganya terguncang bukan main.

Aishah adalah perempuan cerdas. Dia kuliah di salah satu sekolah paling elit di Malaysia, hingga akhirnya ia meraih beasiswa Commonwealth untuk kuliah di London, Inggris.

Kemudian, Aishah bertolak ke Britania Raya bersama tunangannya. Perempuan itu berangan-angan menyeimbangkan impiannya berkarir setinggi mungkin dengan membentuk keluarga bahagia. Namun, di negeri orang ia justru terlibat dalam kegiatan politik yang dianggap ekstrem -- menyerahkan semua miliknya demi mengikuti doktrin Maois.

Ia lalu jatuh ke perangkap Aravindan Balakrishnan dan pasangannya, Chanda -- yang ditangkap polisi pekan lalu atas tuduhan menyekap 3 perempuan selama lebih dari 3 dekade di selatan London. Aishah lalu raib bak ditelan bumi.

Kamar Mautum ingat benar, permintaan terakhir sang ibu yang sekarat adalah mengetahui apa yang terjadi pada putrinya yang tak pernah pulang. Luka di hati ibu mereka menganga lebar.

"Padahal Aishah adalah anak kesayangan ibu. Saat hampir meninggal ibu kami meminta bertemu dengannya," kata Kamar kepada Daily Telegraph, yang dikutip Liputan6.com, 26 November 2013. "Saat ibu kami meninggal, Aishah tak mau bicara pada kami dan aku tak bisa melakukan apapun soal itu."

Perempuan sepuh berjilbab itu menambahkan, adik perempuannya sebenarnya punya masa depan yang cerah. Aishah adalah murid teladan di sekolah unggulan.

Ayahnya -- seorang pengawas sekolah sekaligus tuan tanah kaya menanamkan nilai-nilai Islami pada anak-anaknya. Namun, kata Kamar, ajaran itu tak lagi berlaku untuk Aishah.

Namun, meski pernah disakiti, Kamar bertekad membawa adiknya pulang. "Saat ini adalah masa-masa sulit untuknya, juga buat kami semua. Aku akan melakukan apapun untuk membawanya pulang, sebelum salah satu dari kami meninggal dunia," kata dia.

Lempar Cincin Tunangan ke Sungai Thames

Saat Aishah dan tunangannya, Omar Munir tiba di London, itu bertepatan dengan meningkatnya kerusuhan sosial dan protes Perang Vietnam. Keduanya lantas tertarik bergabung dengan organisasi yang disebut Malaysian and Singaporean Students Forum (Mass) yang punya reputasi sebagai kelompok Maois di London.

Di bawah kepemimpinan Balakrishnan dan Chandra Pattni, kelompom iti menjadi di garis depan gerakan protes, meski hanya punya anggota segelintir.

Balakrishnan digambarkan sebagai pria bertubuh pendek, gemuk, dan berkumis. Di lingkaran gerakan sayap kiri ia dikenal sebagai 'Ketua Ara' atau 'Ketua Bala'. Meski tak didukung postur tubuh dan wajahnya, Balakrishnan adalah sosok yang cerdas dan berkarisma.

Kamar menceritakan, adiknya begitu mengagumi Balakrishnan sampai-sampai rela meninggalkan tunangannya. Melempar cincin pertunangan ke Sungai Thames.

Menurut keluarga Aishah, pemerintah Malaysia menyadari kegiatan politiknya di London dan memperingatkannya pada 1970-an bahwa hal itu akan menyulitkannya untuk kembali ke negerinya.

Namun, Kamar mengatakan, adiknya selain seorang pekerja keras juga keras kepala. "Sangat keras kepala, ia memegang teguh pendapatnya sendiri, tak bakal goyah," kata dia.

Kakak laki-laki mereka yang saat itu tinggal di London pernah menasihati, namun tak mempan. "Aishah mengatakan, 'kalau tak suka ya sudah'." Lalu ia menghilang.

Sang kakak sudah minta bantuan  Ishammuddin Rais, tokoh radikal Malaysia terkemuka di London pada awal tahun 1970-an, tapi tak sanggup menemukan Aishah.

Menurut salah satu eks anggota kelompok Balakrishnan, Aishah masuk ke sel Marxis kecil. Dengan latar belakang etnis Melayu yang punya privilege atau hak istimewa, Aishah merasa bergabung dengan kelompok itu adalah sebuah lompatan besar baginya. Ia merasa harus berjuang demi keadilan sosial. Sangat loyal.

Sama dengan anggota lainnya, Aishah harus bekerja untuk mensubsidi organisasi, memberikan sebagian besar gaji. Bahkan saat pengaruh Balakrishnan meredup, terbukti segala propagandanya -- bakal terjadi revolusi besar -- hanya omong kosong, Aishah menjadi sedikit orang yang masih setia.

"Aishah telah memutus hubungan semua orang, keluarga, dan tinggal secara kolektif dengan kelompoknya. Dia tetap bersama mereka, secara finansial tergantung pada mereka, tidak punya teman, makin tergantung dengan kelompoknya," kata eks anggota Maois yang tak mau disebut namanya.

Faktor lain ada pada diri Aishah yang dulu dikenal cerdas dan percaya diri. "Jika kepercayaan diri Anda makin menipis, harga diri terkelupas, Anda merasa rendah secara  intelektual... tergantung pada kelompok. Hidup seperti terpenjara." (Ein/Mut)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya