Pemerintah berencana meratifikasi atau mengaksesi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control) yang diusung Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Akan tetapi, rencana ratifikasi itu mendapat penolakan dari Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK).
Anggota KNPK, Zulvan Kurniawan meminta semua pihak agar serius memperhatikan isi FCTC yang diklaim banyak pihak bertujuan semata demi kesehatan masyarakat.
"Sementara kami sebagai petani, berkeberatan pada beberapa pasal, yaitu pada Pasal 9, 10 dan 17 dari FCTC," kata Zulvan dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Rabu (27/11/2013).
Zulvan menjelaskan, dalam pasal-pasal tersebut mengatur soal kandungan produk-produk tembakau, soal pemberian informasi tentang produk tembakau, dan dukungan terhadap alternatif kegiatan yang secara ekonomis viable atau layak. Tentu saja, bagi para petani tembakau, kata Zulvan, pasal-pasal itu akan mengandung efek luar biasa.
Sebab, kata dia, produk kretek selain mengandung cengkeh, juga mengandung ramuan tradisonal berupa rempah sebagai penambah rasa dan aroma. Apalagi, cengkeh dan bahan tambahan itu sudah sejak lama ada dan merupakan kekhasan serta keunikan produk kretek.
"Sementara skema tata niaga FCTC berpotensi menyeragamkan produk tembakau secara global, dengan standar internasional seperti rokok putih, low tar, low nicotine. Kalau seperti itu, bagaimana nasib kretek? Pasti binasa," ujarnya.
Lebih jauh Zulvan mengatakan, tembakau yang tumbuh di Indonesia memiliki kekhasan sendiri yang tidak dimiliki negara manapun. Begitu juga produk hasil tembakau, di mana kretek yang berisi campuran tembakau dan cengkeh serta rempah lainnya hanya terdapat di Indonesia.
"Oleh karena itu, standarisasi yang tercantum dalam FCTC menurut kami adalah upaya untuk mematikan industri kretek dan petani tembakau Indonesia," kata Zulvan.
Adapun dalam Pasal 17 FCTC mengarah pada diversifikasi tanaman yang hingga kini menjadi momok bagi petani tembakau. Sebab, kata dia, tidak pernah ada kejelasan dari pemerintah soal manfaat diversifikasi tanaman tembakau dan kesiapan alternatif ekonomi bagi petani ketika dipaksa tidak lagi menanam tembakau.
Ditambah lagi, sambung Zulvan, pernyataan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono yang mengatakan ratifikasi FCTC akan dilakukan lewat Peraturan Presiden atau Perpres. "Hal ini jelas menabrak sistem perundangan di Indonesia, di mana sebuah perjanjian internasional seharusnya diaksesi melalui undang-undang."
Kerena itulah KNPK menuntut pemerintah untuk menolak ratifikasi FCTC serta segera melindungi petani tembakau dan industri kretek dalam negeri. (Rmn)
Anggota KNPK, Zulvan Kurniawan meminta semua pihak agar serius memperhatikan isi FCTC yang diklaim banyak pihak bertujuan semata demi kesehatan masyarakat.
"Sementara kami sebagai petani, berkeberatan pada beberapa pasal, yaitu pada Pasal 9, 10 dan 17 dari FCTC," kata Zulvan dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Rabu (27/11/2013).
Zulvan menjelaskan, dalam pasal-pasal tersebut mengatur soal kandungan produk-produk tembakau, soal pemberian informasi tentang produk tembakau, dan dukungan terhadap alternatif kegiatan yang secara ekonomis viable atau layak. Tentu saja, bagi para petani tembakau, kata Zulvan, pasal-pasal itu akan mengandung efek luar biasa.
Sebab, kata dia, produk kretek selain mengandung cengkeh, juga mengandung ramuan tradisonal berupa rempah sebagai penambah rasa dan aroma. Apalagi, cengkeh dan bahan tambahan itu sudah sejak lama ada dan merupakan kekhasan serta keunikan produk kretek.
"Sementara skema tata niaga FCTC berpotensi menyeragamkan produk tembakau secara global, dengan standar internasional seperti rokok putih, low tar, low nicotine. Kalau seperti itu, bagaimana nasib kretek? Pasti binasa," ujarnya.
Lebih jauh Zulvan mengatakan, tembakau yang tumbuh di Indonesia memiliki kekhasan sendiri yang tidak dimiliki negara manapun. Begitu juga produk hasil tembakau, di mana kretek yang berisi campuran tembakau dan cengkeh serta rempah lainnya hanya terdapat di Indonesia.
"Oleh karena itu, standarisasi yang tercantum dalam FCTC menurut kami adalah upaya untuk mematikan industri kretek dan petani tembakau Indonesia," kata Zulvan.
Adapun dalam Pasal 17 FCTC mengarah pada diversifikasi tanaman yang hingga kini menjadi momok bagi petani tembakau. Sebab, kata dia, tidak pernah ada kejelasan dari pemerintah soal manfaat diversifikasi tanaman tembakau dan kesiapan alternatif ekonomi bagi petani ketika dipaksa tidak lagi menanam tembakau.
Ditambah lagi, sambung Zulvan, pernyataan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono yang mengatakan ratifikasi FCTC akan dilakukan lewat Peraturan Presiden atau Perpres. "Hal ini jelas menabrak sistem perundangan di Indonesia, di mana sebuah perjanjian internasional seharusnya diaksesi melalui undang-undang."
Kerena itulah KNPK menuntut pemerintah untuk menolak ratifikasi FCTC serta segera melindungi petani tembakau dan industri kretek dalam negeri. (Rmn)