Masih ingatkah dengan tes keperawanan dan kuesioner ukur kelamin yang sempat membuat geger dunia pendidikan dan kesehatan beberapa bulan lalu.
Keduanya ini pernah disebut-sebut sebagai tes masuk sekolah tingkat menengah pertama dan atas. Belum lama ini juga beredar kabar Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengusulkan adanya kurikulum kesehatan reproduksi (kespro) di sekolah-sekolah.
Pro dan kontra pun terjadi terkait hal tersebut, banyak masyarakat menilai hal tersebut merupakan pendidikan seks yang mengarah pada hal negatif.
Namun itu dibantah Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Prof. dr Fasli Jalal, PhD, SpGK. Fasli mengatakan kurikulum Kespro tidak melulu soal pendidikan seks tetapi pendidikan tentang organ reproduksi dan bahaya perilaku berisiko seperti narkoba dan seks bebas.
Lalu apakah kurikulum Kespro benar-benar dibutuhkan para siswa sekolah?. Ternyata para siswa mengaku hal tersebut diperlukan mereka sebagai generasi muda yang rentan terkena dampak arus perkembangan jaman.
"Kurikulum reproduksi itu sangat kami perlukan sebagai remaja supaya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan organ reproduksi kami lebih banyak, jadi kasus-kasus seperti aborsi atau hamil di luar nikah tidak lagi terjadi," kata Siswa Kelas XI SMKN 50 Jakarta, Diah (16), ditulis Senin (2/12/2013).
Diah menambahkan para remaja sudah tahu kalau kespro itu tidak melulu pendidikan seks. Jadi, perlu jika dimasukan ke dalam kurikulum sekolah. "Dengan Pusat Informasi Konseling (PIK) remaja di sekolah saja tidak cukup, saya dan teman-teman di sekolah merasa butuh kurikulum reproduksi, supaya kami tidak terjerumus di perilaku-perilaku negatif," tambah Diah saat acara nonton bareng Cinta di Wamena.
Tidak hanya Diah, beberapa siswa lain yang berada di tempat yang sama juga kompak mengatakan kurikulum reproduksi itu diperlukan. "Ya kami butuh kesepro agar tidak ada kejadian yang berisiko akibat pengetahuan kami tentang kesehatan reproduksi minim," kata para siswa dari beberapa sekolah di Jakarta menjawab kompak.
Hal serupa juga dikatakan penderita HIV AIDS (Human Immunodeficiency Virus - Acquired Immunodeficiency Syndrome), Nurdiyanto. ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) yang sudah satu tahun menderita HIV AIDS ini mengatakan kespro itu diperlukan para generasi muda.
"Generasi muda itu perlu adanya kespro agar tidak minim pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Banyak kasus yang terjadi seperti aborsi, HIV atau kehamilan di luar nikah ya karena mereka tidak tahu tentang organ reproduksi dan akibat dari apa yang dilakukan," kata pria yang lebih suka dipanggil Anthoni.
Nurdiyanto juga menambahkan jangan sampai seperti dirinya yang terkena HIV akibat dari ketidaktahuan tentang perilaku berisiko.
"Jangan sampai lagi ada generasi muda seperti saya karena tidak tahu kalau perilaku berisiko seperti narkoba atau seks bebas itu dampaknya bisa seumur hidup," tambah Nurdiyanto.
(Mia/Abd)
Keduanya ini pernah disebut-sebut sebagai tes masuk sekolah tingkat menengah pertama dan atas. Belum lama ini juga beredar kabar Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengusulkan adanya kurikulum kesehatan reproduksi (kespro) di sekolah-sekolah.
Pro dan kontra pun terjadi terkait hal tersebut, banyak masyarakat menilai hal tersebut merupakan pendidikan seks yang mengarah pada hal negatif.
Namun itu dibantah Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Prof. dr Fasli Jalal, PhD, SpGK. Fasli mengatakan kurikulum Kespro tidak melulu soal pendidikan seks tetapi pendidikan tentang organ reproduksi dan bahaya perilaku berisiko seperti narkoba dan seks bebas.
Lalu apakah kurikulum Kespro benar-benar dibutuhkan para siswa sekolah?. Ternyata para siswa mengaku hal tersebut diperlukan mereka sebagai generasi muda yang rentan terkena dampak arus perkembangan jaman.
"Kurikulum reproduksi itu sangat kami perlukan sebagai remaja supaya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan organ reproduksi kami lebih banyak, jadi kasus-kasus seperti aborsi atau hamil di luar nikah tidak lagi terjadi," kata Siswa Kelas XI SMKN 50 Jakarta, Diah (16), ditulis Senin (2/12/2013).
Diah menambahkan para remaja sudah tahu kalau kespro itu tidak melulu pendidikan seks. Jadi, perlu jika dimasukan ke dalam kurikulum sekolah. "Dengan Pusat Informasi Konseling (PIK) remaja di sekolah saja tidak cukup, saya dan teman-teman di sekolah merasa butuh kurikulum reproduksi, supaya kami tidak terjerumus di perilaku-perilaku negatif," tambah Diah saat acara nonton bareng Cinta di Wamena.
Tidak hanya Diah, beberapa siswa lain yang berada di tempat yang sama juga kompak mengatakan kurikulum reproduksi itu diperlukan. "Ya kami butuh kesepro agar tidak ada kejadian yang berisiko akibat pengetahuan kami tentang kesehatan reproduksi minim," kata para siswa dari beberapa sekolah di Jakarta menjawab kompak.
Hal serupa juga dikatakan penderita HIV AIDS (Human Immunodeficiency Virus - Acquired Immunodeficiency Syndrome), Nurdiyanto. ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) yang sudah satu tahun menderita HIV AIDS ini mengatakan kespro itu diperlukan para generasi muda.
"Generasi muda itu perlu adanya kespro agar tidak minim pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Banyak kasus yang terjadi seperti aborsi, HIV atau kehamilan di luar nikah ya karena mereka tidak tahu tentang organ reproduksi dan akibat dari apa yang dilakukan," kata pria yang lebih suka dipanggil Anthoni.
Nurdiyanto juga menambahkan jangan sampai seperti dirinya yang terkena HIV akibat dari ketidaktahuan tentang perilaku berisiko.
"Jangan sampai lagi ada generasi muda seperti saya karena tidak tahu kalau perilaku berisiko seperti narkoba atau seks bebas itu dampaknya bisa seumur hidup," tambah Nurdiyanto.
(Mia/Abd)