Kebanyakan orang yang dihadapkan dengan tuduhan pengkhianatan akan bersembunyi atau melarikan diri. Namun, bukan itu yang dilakukan Suthep Thaugsuban. Mantan wakil perdana menteri itu bermetamorfosa jadi pemrotes jalanan.
Suthep menjadi tokoh kunci dalam kekacauan politik yang saat ini melanda Thailand. Belakangan ia bahkan mengultimatum penguasa untuk mundur dalam waktu 2 hari.
Ia telah mengabaikan surat perintah penangkapannya Selasa lalu, terkait tuduhan menghasut kerusuhan sipil besar-besaran di Bangkok dan menuntut agar Perdana Menteri Yingluck Shinawatra dan partainya, Puea Thai, mundur.
Pria 64 tahun yang memimpin Civil Movement for Democracy (CMD) justru muncul dalam konferensi pers di mana ia bersikukuh tak akan berhenti sebelum 'rezim Thaksin' musnah dari Thailand.
Seperti halnya para demonstran, Suthep yakin benar mantan PM Thaksin Shinawatra, yang dikudeta militer pada 2006 dan lari dua tahun kemudian, masih mengendalikan Thailand melalui adiknya yang kini jadi perdana menteri, Yingluck, dari rumahnya di London dan Dubai.
Meski didukung masyarakat bawah, Thaksin dibenci elit tradisional -- pebisnis besar, penasihat kerajaan, dan jenderal, juga kaum kelas menengah.
Dan Shuthep ada di barisan yang tak suka pada Thaksin, Puea Thai, dan kebijakan mereka yang pro-rakyat kecil. Dia punya kaitan dengan elit Thailand. Berakar dari keluarga pemilik lahan kaya di Provinsi Surat Thani di Thailand selatan, basis Partai Demokrat. Ia pernah jadi anggota parlemen dari Demokrat mewakili Surat Thani pada 1979.
Pengamat menganggap Suthep hanya sebagai pentolan atau frontman untuk koalisi bayangan konservatif lama penentang Thaksin, Puea Thai, dan kebijakan populis mereka mendapat dukungan luar biasa di kalangan kaum miskin pedesaan.
"Mereka yang di belakang protes adalah orang-orang yang sama dengan kudeta 2006 lalu. Tak mungkin Suthep beraksi sendiri," kata Kan Yuenyong, direktur eksekutif lembaga think tank, Siam Intelligence Unit, seperti dimuat South China Morning Post, Senin 1 Desember 2013.
"Mereka menghabiskan uang sekitar 5 juta baht per hari (Rp 1,8 miliar) untuk membuat demonstran tetap ada di jalanan, pasti ada orang-orang di belakangnya memberikan uang itu."
Dan sebagai politisi veteran, Suthep yang menjabat sebagai Sekjen Partai Demokrat dan wakil perdana menteri pada 2011, dianggap sebagai kandidat ideal untuk memimpin protes.
"Para elit membutuhkan seseorang untuk melindungi kepentingan mereka. Suthep bertindak untuk itu," kata Kan. "Namun tak akan ada yang mengakuinya di depan publik."
Alih-alih menuntut pemilu -- yang pihak Demokrat tahu benar mereka bakal kalah -- Sithep mengusulkan mengganti pemerintah Puea Thai yang terpilih secara demokratis dengan apa yang ia sebut "perwakilan rakyat" atau "dewan rakyat", yang dipimpin pejabat 'dream team' pilihan yang belum diumumkan namanya.
Secara terpisah, Tida Tawornseth, pemimpin United Front of Democracy against Dictatorship yang dikenal sebagai kaus merah pendukung Thaksin mengatakan, itu adalah ide gila. Sebab, itu berarti Suthep menyingkirkan demokrasi dan penegakan hukum.
"Lebih dari 26 juta orang memberi suara pada 2011. Bagaimana mungkin menolak hasilnya? Suthep mengaku ingin menyingkirkan rezim Thaksin, namun itu juga berarti menyingkirkan konstitusi," kata dia.
Catatan `Hitam` Suthep
Para pendemo menganggap Puea Thai kehilangan legitimasi untuk memerintah Thailand setelah pada 20 November lalu Mahkamah Konstitusi menolak usulan untuk membuat semua anggota senat dipilih dalam pemilu.
Sebaliknya, Suthep pun tak bersih-bersih amat. Dia dipaksa mundur dari parlemen pada 2009 atas tuduhan melanggar konstitusi dengan memiliki saham di perusahan media yang mendapat konsesi dari pemerintah.
Suthep lalu menggunakan taktik yang melibatkan rakyat jelata, minta pendukungnya berbaris di Bangkok untuk membela dirinya. Tapi protes itu menyebabkan parlemen dibubarkan dan Demokrat kalah pada pemilu berikutnya .
Ia juga disebut-sebut terlibat dalam skandal korupsi tahun 1995, ketika ia ketahuan memberikan tanah yang menjadi hak orang miskin pada keluarga kaya di Pukhet.
Namun, ia toh terpilih sebagai wakil perdana menteri, tanpa dipilih, dalam kabinet Demokrat yang terbentuk setelah Thaksin dilengserkan.
Suthep juga memainkan peran penting dalam kerusuhan berdarah di Bangkok pada 2010 -- yang mendorong jatuhnya pemerintahan dan mengakibatkan Puea Thai menang pemilu pada 2011. Sebanyak 92 orang meninggal.
Pada Oktober 2012, Suthep didakwa oleh Kejaksaan Agung atas dugaan mengeluarkan perintah yang memungkinkan militer untuk menembaki para pengunjuk rasa.
Karena masa lalunya yang tak putih itu, bahkan para demonstran yang dipimpinnya, tak mau Suthep jadi pemimpin. "Orang-orang tak menginginkan dia jadi perdana menteri," kata Chuchai Anunmana, dokter gigi berusia 43 tahun yang berdemo di depan markas kepolisian.
Bahkan koleganya di Demokrat mempertanyakan niatnya membentuk dewan rakyat. Salah satunya wakil ketua Partai Demokrat, Korn Chatikavanij. Pernyataan itu membuat Suthep memperingatkan Korn untuk tak mengritik CMD lagi, atau ia 'akan menghadapi masalah'.
Suthep sedang bertaruh, dengan taruhan besar.
"Orang-orang yang melakukannya (protes) ingin terjadi pemberontakan," kata Pitch Pongsawat, dosen ilmu politik dari Chulalongkorn University, Bangkok. "Jika mereka berhasil, mereka akan diampuni. Ini risiko yang pantas diambil. Kalau pemerintah sampai berunding dengan mereka, para pemrotes akan meminta amnesti atas peran mereka."
Dengan jumlah demonstran yang terus berkurang dan penolakan Puea Thai mengambil langkah kekerasan menindak demonstrasi, pilihan Suthep makin terbatas.
"Menurut saya, dia bukan orang pintar," kata Pitch. "Dia lebih mirip orang yang pergi ke kasino dan mempertaruhkan segalanya," kata Pitch." Dia hanya menekan pemerintah dan berharap protes bekerja. Ini tidak rasional. "
Ditambahkan oleh Tida, era Suthep telah berakhir. "Karir politiknya sudah berakhir," kata dia. "Yang bisa ia lakukan sekarang adalah menunjukkan ia masih bisa memimpin protes. Tapi aku tak yakin ia bisa melakukannya."
Kita tunggu apa yang terjadi. (Ein/Yus)
Suthep menjadi tokoh kunci dalam kekacauan politik yang saat ini melanda Thailand. Belakangan ia bahkan mengultimatum penguasa untuk mundur dalam waktu 2 hari.
Ia telah mengabaikan surat perintah penangkapannya Selasa lalu, terkait tuduhan menghasut kerusuhan sipil besar-besaran di Bangkok dan menuntut agar Perdana Menteri Yingluck Shinawatra dan partainya, Puea Thai, mundur.
Pria 64 tahun yang memimpin Civil Movement for Democracy (CMD) justru muncul dalam konferensi pers di mana ia bersikukuh tak akan berhenti sebelum 'rezim Thaksin' musnah dari Thailand.
Seperti halnya para demonstran, Suthep yakin benar mantan PM Thaksin Shinawatra, yang dikudeta militer pada 2006 dan lari dua tahun kemudian, masih mengendalikan Thailand melalui adiknya yang kini jadi perdana menteri, Yingluck, dari rumahnya di London dan Dubai.
Meski didukung masyarakat bawah, Thaksin dibenci elit tradisional -- pebisnis besar, penasihat kerajaan, dan jenderal, juga kaum kelas menengah.
Dan Shuthep ada di barisan yang tak suka pada Thaksin, Puea Thai, dan kebijakan mereka yang pro-rakyat kecil. Dia punya kaitan dengan elit Thailand. Berakar dari keluarga pemilik lahan kaya di Provinsi Surat Thani di Thailand selatan, basis Partai Demokrat. Ia pernah jadi anggota parlemen dari Demokrat mewakili Surat Thani pada 1979.
Pengamat menganggap Suthep hanya sebagai pentolan atau frontman untuk koalisi bayangan konservatif lama penentang Thaksin, Puea Thai, dan kebijakan populis mereka mendapat dukungan luar biasa di kalangan kaum miskin pedesaan.
"Mereka yang di belakang protes adalah orang-orang yang sama dengan kudeta 2006 lalu. Tak mungkin Suthep beraksi sendiri," kata Kan Yuenyong, direktur eksekutif lembaga think tank, Siam Intelligence Unit, seperti dimuat South China Morning Post, Senin 1 Desember 2013.
"Mereka menghabiskan uang sekitar 5 juta baht per hari (Rp 1,8 miliar) untuk membuat demonstran tetap ada di jalanan, pasti ada orang-orang di belakangnya memberikan uang itu."
Dan sebagai politisi veteran, Suthep yang menjabat sebagai Sekjen Partai Demokrat dan wakil perdana menteri pada 2011, dianggap sebagai kandidat ideal untuk memimpin protes.
"Para elit membutuhkan seseorang untuk melindungi kepentingan mereka. Suthep bertindak untuk itu," kata Kan. "Namun tak akan ada yang mengakuinya di depan publik."
Alih-alih menuntut pemilu -- yang pihak Demokrat tahu benar mereka bakal kalah -- Sithep mengusulkan mengganti pemerintah Puea Thai yang terpilih secara demokratis dengan apa yang ia sebut "perwakilan rakyat" atau "dewan rakyat", yang dipimpin pejabat 'dream team' pilihan yang belum diumumkan namanya.
Secara terpisah, Tida Tawornseth, pemimpin United Front of Democracy against Dictatorship yang dikenal sebagai kaus merah pendukung Thaksin mengatakan, itu adalah ide gila. Sebab, itu berarti Suthep menyingkirkan demokrasi dan penegakan hukum.
"Lebih dari 26 juta orang memberi suara pada 2011. Bagaimana mungkin menolak hasilnya? Suthep mengaku ingin menyingkirkan rezim Thaksin, namun itu juga berarti menyingkirkan konstitusi," kata dia.
Catatan `Hitam` Suthep
Para pendemo menganggap Puea Thai kehilangan legitimasi untuk memerintah Thailand setelah pada 20 November lalu Mahkamah Konstitusi menolak usulan untuk membuat semua anggota senat dipilih dalam pemilu.
Sebaliknya, Suthep pun tak bersih-bersih amat. Dia dipaksa mundur dari parlemen pada 2009 atas tuduhan melanggar konstitusi dengan memiliki saham di perusahan media yang mendapat konsesi dari pemerintah.
Suthep lalu menggunakan taktik yang melibatkan rakyat jelata, minta pendukungnya berbaris di Bangkok untuk membela dirinya. Tapi protes itu menyebabkan parlemen dibubarkan dan Demokrat kalah pada pemilu berikutnya .
Ia juga disebut-sebut terlibat dalam skandal korupsi tahun 1995, ketika ia ketahuan memberikan tanah yang menjadi hak orang miskin pada keluarga kaya di Pukhet.
Namun, ia toh terpilih sebagai wakil perdana menteri, tanpa dipilih, dalam kabinet Demokrat yang terbentuk setelah Thaksin dilengserkan.
Suthep juga memainkan peran penting dalam kerusuhan berdarah di Bangkok pada 2010 -- yang mendorong jatuhnya pemerintahan dan mengakibatkan Puea Thai menang pemilu pada 2011. Sebanyak 92 orang meninggal.
Pada Oktober 2012, Suthep didakwa oleh Kejaksaan Agung atas dugaan mengeluarkan perintah yang memungkinkan militer untuk menembaki para pengunjuk rasa.
Karena masa lalunya yang tak putih itu, bahkan para demonstran yang dipimpinnya, tak mau Suthep jadi pemimpin. "Orang-orang tak menginginkan dia jadi perdana menteri," kata Chuchai Anunmana, dokter gigi berusia 43 tahun yang berdemo di depan markas kepolisian.
Bahkan koleganya di Demokrat mempertanyakan niatnya membentuk dewan rakyat. Salah satunya wakil ketua Partai Demokrat, Korn Chatikavanij. Pernyataan itu membuat Suthep memperingatkan Korn untuk tak mengritik CMD lagi, atau ia 'akan menghadapi masalah'.
Suthep sedang bertaruh, dengan taruhan besar.
"Orang-orang yang melakukannya (protes) ingin terjadi pemberontakan," kata Pitch Pongsawat, dosen ilmu politik dari Chulalongkorn University, Bangkok. "Jika mereka berhasil, mereka akan diampuni. Ini risiko yang pantas diambil. Kalau pemerintah sampai berunding dengan mereka, para pemrotes akan meminta amnesti atas peran mereka."
Dengan jumlah demonstran yang terus berkurang dan penolakan Puea Thai mengambil langkah kekerasan menindak demonstrasi, pilihan Suthep makin terbatas.
"Menurut saya, dia bukan orang pintar," kata Pitch. "Dia lebih mirip orang yang pergi ke kasino dan mempertaruhkan segalanya," kata Pitch." Dia hanya menekan pemerintah dan berharap protes bekerja. Ini tidak rasional. "
Ditambahkan oleh Tida, era Suthep telah berakhir. "Karir politiknya sudah berakhir," kata dia. "Yang bisa ia lakukan sekarang adalah menunjukkan ia masih bisa memimpin protes. Tapi aku tak yakin ia bisa melakukannya."
Kita tunggu apa yang terjadi. (Ein/Yus)