Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan kebijakan penyesuaian suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) tak melulu membawa petaka bagi kinerja perdagangan Indonesia. Buktinya nilai ekspor sepanjang Oktober 2013 bertumbuh 6,87% sebesar US$ 15,72 miliar.
Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin, momen pelemahan rupiah dapat menguntungkan kinerja ekspor Indonesia yang berhasil naik meski nilainya tidak terlalu signifikan.
"Ekspor sudah naik dengan pertumbuhan cukup cepat 6,87% di Oktober ini, sedangkan impor sedikit melamban dengan kenaikan 1,06% (US$ 15,67 miliar). Dibanding Oktober 2012 lalu, nilai impor justru turun," terang dia di Jakarta, Senin (2/12/2013).
Dia mengatakan, capaian ini tidak terlepas dari intervensi Bank Indonesia (BI) dalam menaikkan suku bunga acuan untuk mempersempit defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Kebijakan itu juga dimaksudkan untuk mengendalikan nilai tukar rupiah.
Berdasarkan data BPS, Suryamin merinci, permintaan ekspor di bulan kesepuluh ini sudah cukup tinggi. Sebagai contoh komoditas minyak kelapa sawit (palm oil) dari US$ 820 juta menjadi US$ 859 juta, minyak kelapa sawit mentah menjadi US$ 915 juta dari sebelumnya US$ 910 juta.
"Meskipun ada ekspor komoditas yang sudah naik, tapi ada juga yang turun seperti fish meal dari US$ 1,66 miliar menjadi US$ 1,44 miliar di Oktober. Jadi mengimbangi," terang dia.
Pelemahan rupiah, diakui Suryamin mampu menekan impor dan menaikkan ekspor karena harga bahan baku yang cenderung melonjak tinggi. Sehingga kemungkinan pelaku usaha mengerem pembelian impor.
Sementara itu, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Sasmito Hadi Wibowo menambahkan, intervensi dari pemerintah dan BI merupakan kombinasi kebijakan tepat mengendalikan laju inflasi dan menekan defisit neraca perdagangan.
"Rupiah memang berpengaruh ke inflasi inti, tapi memang naiknya tidak tinggi karena masih bisa tertahan. Mungkin pelemahan rupiah baru akan terasa di Desember," ujarnya.
Namun dia menyebut, langkah BI menaikkan suku bunga yang dikombinasikan dengan tingginya akan menurunkan konsumsi dan akhirnya berpengaruh terhadap penurunan impor.
"BI dan pemerintah memaksa kita supaya mengurangi konsumsi agar defisit turun dan inflasi terjaga. Tapi konsekuensinya ke perlambatan pertumbuhan ekonomi," tutup Sasmito. (Fik/Ndw)
Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin, momen pelemahan rupiah dapat menguntungkan kinerja ekspor Indonesia yang berhasil naik meski nilainya tidak terlalu signifikan.
"Ekspor sudah naik dengan pertumbuhan cukup cepat 6,87% di Oktober ini, sedangkan impor sedikit melamban dengan kenaikan 1,06% (US$ 15,67 miliar). Dibanding Oktober 2012 lalu, nilai impor justru turun," terang dia di Jakarta, Senin (2/12/2013).
Dia mengatakan, capaian ini tidak terlepas dari intervensi Bank Indonesia (BI) dalam menaikkan suku bunga acuan untuk mempersempit defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Kebijakan itu juga dimaksudkan untuk mengendalikan nilai tukar rupiah.
Berdasarkan data BPS, Suryamin merinci, permintaan ekspor di bulan kesepuluh ini sudah cukup tinggi. Sebagai contoh komoditas minyak kelapa sawit (palm oil) dari US$ 820 juta menjadi US$ 859 juta, minyak kelapa sawit mentah menjadi US$ 915 juta dari sebelumnya US$ 910 juta.
"Meskipun ada ekspor komoditas yang sudah naik, tapi ada juga yang turun seperti fish meal dari US$ 1,66 miliar menjadi US$ 1,44 miliar di Oktober. Jadi mengimbangi," terang dia.
Pelemahan rupiah, diakui Suryamin mampu menekan impor dan menaikkan ekspor karena harga bahan baku yang cenderung melonjak tinggi. Sehingga kemungkinan pelaku usaha mengerem pembelian impor.
Sementara itu, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Sasmito Hadi Wibowo menambahkan, intervensi dari pemerintah dan BI merupakan kombinasi kebijakan tepat mengendalikan laju inflasi dan menekan defisit neraca perdagangan.
"Rupiah memang berpengaruh ke inflasi inti, tapi memang naiknya tidak tinggi karena masih bisa tertahan. Mungkin pelemahan rupiah baru akan terasa di Desember," ujarnya.
Namun dia menyebut, langkah BI menaikkan suku bunga yang dikombinasikan dengan tingginya akan menurunkan konsumsi dan akhirnya berpengaruh terhadap penurunan impor.
"BI dan pemerintah memaksa kita supaya mengurangi konsumsi agar defisit turun dan inflasi terjaga. Tapi konsekuensinya ke perlambatan pertumbuhan ekonomi," tutup Sasmito. (Fik/Ndw)