Tacloban, Di Antara Antrean Pengungsi dan Anyir Jenazah Korban

Laptop, telepon genggam, uang, dan benda berharga lain jika ditinggalkan mungkin tak hilang. Namun, jika ada botol berisi air, pasti raib.

oleh Fahrizal Lubis diperbarui 02 Des 2013, 20:32 WIB

Dari udara, terlihat kehancuran Tacloban. Wilayah itu menjadi daerah terparah akibat topan Haiyan di Filipina pada 8 November 2013.

Para juru kamera mendekati jendela, mengambil gambar. Para reporter yang tak kebagian jendela, bertahan di atas karung-karung beras bantuan.

Pesaawat Hercules TNI AU yang kami tumpangi tak hanya membawa barang bantuan dan para jurnalis. Terdapat juga puluhan pengungsi asal Tacloban yang hendak kembali.

Wajah tak sabar puluhan pengungsi, yang terdiri dari bocah dan kaum dewasa ini, tampak. Ingin segera pesawat mendarat. Mereka pergi ke Cebu untuk membeli kebutuhan pangan dan keperluan lain.

Setelah 25 menit terbang dari Cebu, pesawat akhirnya mendarat di Tacloban. Di bandara yang porak-poranda itu, kami menyaksikan ribuan pengungsi yang mengantre. Mereka menunggu untuk dievakuasi ke Manila atau Cebu.

Kalau ke Manila, mereka biasanya tak bolak-balik ke Tacloban. Berbeda halnya jika hanya ke Cebu.

Foto dok. Liputan6.com


Bukan hanya kaum dewasa, melainkan juga para bayi. "Saya sudah 3 hari mengantre,” ujar Ortega, kakek berumur 64 tahun di bandara kota Tacloban, 19 November 2013. Sebenarnya ada 'kesalahan' dia juga. Kala hujan, ia meninggalkan barisan. Saat hujan reda, ia balik ke antrean. tapi, tentu saja dari belakang.

Dalam sehari, hanya ada 5-6 pesawat yang terbang ke Tacloban untuk mengevakuasi. Hercules TNI AU yang kami tumpangi terbang Cebu-Tacloban sebanyak dua kali, pulang-pergi. Penerbangan pertama membawa 120 pengungsi, penerbangan kedua mengangkut 94 orang.

Perasaan sedih menggelayuti melihat kondisi para pengungsi. Teman-teman pun mengumpulkan cadangan makanan dan dan air minum untuk diberikan kepada para pengungsi. Puluhan bungkus cokelat kami pun habis diambil anak-anak pengungsi.

Dengan bahasa Inggris, saya menawarkan rokok. Hanya dengan beberapa batang rokok, pengungsi yang awalnya jutek jadi mudah tersenyum. Saya pun langsung mengambil momen tersebut untuk mengobrol mengenai masalah yang dihadapi mereka.

Setelah sejam bersama pengungsi di bandara, kami pun melanjutkan perjalanan ke Desa Fatima. Desa yang berdekatan dengan bandara ini hampir semua bangunannya hancur.

Seorang warga desa Fatima mengaku, ratusan tetangganya menjadi korban, meninggal atau luka-luka. Mereka juga menunjukkan tempat menaruh jenazah korban di empat titik. Hingga hari kesebelas, puluhan mayat yang saya lihat di dekat kantor polisi setempat belum juga dimakamkan. Miris.

Foto dok. Liputan6.com


Aroma jenazah masih tercium hingga radius 200 meter. Salah seorang jurnalis televisi swasta pun hampir muntah ketika melihat tangan yang sudah membusuk dan kaki yang hancur.

Bersama fotografer lain, saya mencoba berjalan di rawa-rawa sekitar desa. Namun beberapa polisi menghentikan langkah dan menggiring kami ke jalan raya. Ia mengatakan di rawa masih banyak mayat yang belum dievakuasi.

"Nanti mayatnya terinjak, malah jadi penyakit untuk Anda," ucap seorang anggota polisi. Selesai melihat jenazah, kami melanjutkan perjalanan melihat kondisi air di desa ini. Di Desa Fatima, ada 3 pompa air manual, namun hanya 1 yang berfungsi.

Di Tacloban, air sangat berharga. Laptop, telepon genggam, uang, dan benda berharga lain jika ditinggalkan mungkin tidak hilang. Namun jika ada botol berisi air, meski tinggal sedikit isinya, pasti raib.

Akibat bencana tersebut pasokan air bersih sangat susah apalagi harus berhadapan dengan terik matahari. Dalam 4 jam, saya menghabiskan 1,5 liter air untuk minum.

Foto dok. Liputan6.com


Tiba di pompa air manual, saya melihat 3 anak kecil membawa sepeda becak. Anak wanita berumur 12 tahun memimpin 2 adiknya mandi dan mengambil beberapa botol air di pompa manual ini. Mereka pun harus berjuang melewati jarak 2 km.

"Untuk sehari-hari, kami hanya mendapat jatah 3 gelas air," ujar gadis pemalu ini.

Usai meliput di Desa Fatima, saya kembali ke bandara untuk mengikuti proses evakuasi pengungsi oleh TNI AU. Di sini saya bangga memiliki TNI yang berjiwa kepahlawanan.

Sambil menunggu malam, saya meluangkan waktu memotret bantuan asing yang masuk dan aktivitas para pengungsi. Di kota Tacloban, pemerintah Filipina memberlakukan jam malam dari pukul 20.00 hingga 05.00.

Jam malam ini untuk mengurangi kriminalitas dan dipakai para petugas dan relawan untuk membersihkan jalan-jalan dari reruntuhan bangunan. (Yus)

Foto dok. Liputan6.com


Baca juga:

Perjalanan ke Roxas, `Diplomasi Rokok`, dan Bantuan yang Telat

Menumpang Hercules, Menuju Tanah Bencana

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya