Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diperkirakan masih akan berlanjut hingga tahun depan dengan kisaran Rp 11.500. Pemicunya karena rencana pengurangan stimulus (tapering off).
Managing Director Head of Global Market HSBC, Ali Setiawan memproyeksikan kurs rupiah akan bertengger di level Rp 11.500 per dolar AS pada semester I 2014.
"Rupiah di semester I tahun depan masih sulit menguat banyak bahkan susah mencapai Rp 10.500 per dolar AS. Makanya kami perkirakan di level Rp 11.500 per dolar AS karena masih ada permintaan dolar yang tak seimbang dengan suplainya," terang dia di acara HSBC Global Economic Outlook 2014 di Jakarta, Rabu (4/12/2013).
Lebih jauh dia menilai, tekanan nilai tukar rupiah akan mereda jika kebijakan Bank Indonesia (BI) dan pemerintah dalam mengendalikan kurs rupiah berjalan. Apalagi dampak dari paket kebijakan ekonomi dari pemerintah bakal mulai terasa di semester II 2014.
"Kalau dampak kebijakan sudah terasa ada perbaikan, rupiah tidak akan terlalu tertekan dan bisa bergerak di level Rp 11 ribu per dolar AS meskipun konsumsi domestik dan penggunaan BBM masih akan bertumbuh," ujar dia.
Ali mengaku, pengurangan stimulus oleh Bank Sentral AS merupakan fenomena global yang memicu nilai tukar mata uang beberapa negara mengalami tekanan cukup dalam. Negara-negara tersebut antara lain India, Afrika Selatan, Turki dan Indonesia yang tercatat memiliki rapor merah dalam neraca transaksi berjalan.
"Tapi pelemahan ini masih akan lengket sampai akhir tahun depan selama masih ada pembayaran utang dan repatriasi dividen. Ini menjadi konsekuensi Indonesia karena kegiatan investasi di tanah air semakin besar, namun pasar tidak cukup mengimbangi (suplai dolar)," paparnya.
Kondisi tersebut, menurut Ali, harus diiringi dengan kebijakan tepat dari pemerintah dan BI untuk mengurangi defisit transaksi berjalan, salah satunya dengan menaikkan suku bunga acuan.
Pihaknya sangat mengapresiasi langkah BI yang menyesuaikan BI Rate sebesar 175 basis poin demi mengatasi risiko transaksi berjalan.
"Kemungkinan menaikkan BI Rate masih ada karena konsumsi masih besar. Tapi ini alasan BI yang sangat responsif untuk meredam peningkatan konsumsi. Kami juga sedang menunggu terkait insentif repatriasi asing yang bakal dikeluarkan pemerintah secara detail untuk mengatasi defisit transaksi berjalan," pungkas dia. (Fik/Ndw)
Managing Director Head of Global Market HSBC, Ali Setiawan memproyeksikan kurs rupiah akan bertengger di level Rp 11.500 per dolar AS pada semester I 2014.
"Rupiah di semester I tahun depan masih sulit menguat banyak bahkan susah mencapai Rp 10.500 per dolar AS. Makanya kami perkirakan di level Rp 11.500 per dolar AS karena masih ada permintaan dolar yang tak seimbang dengan suplainya," terang dia di acara HSBC Global Economic Outlook 2014 di Jakarta, Rabu (4/12/2013).
Lebih jauh dia menilai, tekanan nilai tukar rupiah akan mereda jika kebijakan Bank Indonesia (BI) dan pemerintah dalam mengendalikan kurs rupiah berjalan. Apalagi dampak dari paket kebijakan ekonomi dari pemerintah bakal mulai terasa di semester II 2014.
"Kalau dampak kebijakan sudah terasa ada perbaikan, rupiah tidak akan terlalu tertekan dan bisa bergerak di level Rp 11 ribu per dolar AS meskipun konsumsi domestik dan penggunaan BBM masih akan bertumbuh," ujar dia.
Ali mengaku, pengurangan stimulus oleh Bank Sentral AS merupakan fenomena global yang memicu nilai tukar mata uang beberapa negara mengalami tekanan cukup dalam. Negara-negara tersebut antara lain India, Afrika Selatan, Turki dan Indonesia yang tercatat memiliki rapor merah dalam neraca transaksi berjalan.
"Tapi pelemahan ini masih akan lengket sampai akhir tahun depan selama masih ada pembayaran utang dan repatriasi dividen. Ini menjadi konsekuensi Indonesia karena kegiatan investasi di tanah air semakin besar, namun pasar tidak cukup mengimbangi (suplai dolar)," paparnya.
Kondisi tersebut, menurut Ali, harus diiringi dengan kebijakan tepat dari pemerintah dan BI untuk mengurangi defisit transaksi berjalan, salah satunya dengan menaikkan suku bunga acuan.
Pihaknya sangat mengapresiasi langkah BI yang menyesuaikan BI Rate sebesar 175 basis poin demi mengatasi risiko transaksi berjalan.
"Kemungkinan menaikkan BI Rate masih ada karena konsumsi masih besar. Tapi ini alasan BI yang sangat responsif untuk meredam peningkatan konsumsi. Kami juga sedang menunggu terkait insentif repatriasi asing yang bakal dikeluarkan pemerintah secara detail untuk mengatasi defisit transaksi berjalan," pungkas dia. (Fik/Ndw)