Penerapan Open Acess Timbulkan Banyak Broker Gas?

Rencana penerapan open access pipa gas dinilai akan menimbulkan banyak para makelar gas.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 05 Des 2013, 15:15 WIB
Rencana penerapan open access pipa gas dinilai justru bakal menimbulkan banyak para makelar gas. Hal ini terbukti dari penerapan open access semua pipa transmisi yang ada di Indonesia, memunculkan makelar oleh para broker dan mengakibatkan stagnasi infrastruktur.
 
Saat ini terdapat lebih dari 63 trader gas di Indonesia, yang sebagian besar bertindak sebagai broker yang tidak mengembangkan infrastruktur. Padahal, sesuai Keputusan Menteri ESDM tahun 2012, jaringan pipa yang sekarang ini ada baru sekitar 20% dari yang seharusnya.

Ketua Tim Regulasi PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN), Antonius Aris Sudjatmiko mengatakan, banyaknya trader gas menyebabkan terhambatnya pengembangan infrastruktur gas yang menyebabkan krisis energi di Sumatera Utara dan potensi krisis di Jawa Tengah.

Krisis energi ini diperparah dengan para kartel yang bekerjasama dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) minyak nasional, menjual alokasi gasnya dengan tidak transparan ke broker gas yang tidak memiliki fasilitas.

"Berbeda dengan KKKS asing yang menjual alokasi gasnya secara langsung ke distributor atau langsung ke pengguna gas, tanpa melalui broker," kata Aris dalam keterangan tertulisnya, Kamis (5/12/2013).

Dalam menerapkan toll fee pipa transmisi, PGN selalu mematuhi keputusan BPH Migas. Dan terhadap harga jual gas ke pelanggan, PGN merupakan satu-satunya Badan Usaha yang melaporkan secara transparan komponen pembentuk harga jual gas. Sedangkan trader dan broker gas lain sampai saat ini tidak ada yang tahu berapa margin dan fee yang telah mereka tetapkan.

Untuk toll fee Pipa SSWJ I sepanjang 400 KM (dibangun tahun 2007) PGN sesuai keputusan BPH Migas, tarif toll fee nya adalah US$ 1,55 per MSCF. Sedangkan toll fee pipa SSWJ II sepanjang 600km(dibangun tahun 2008) dikenakan tarif US$ 1,47 per MSCF.

Terhadap pipa Distribusi Jabar sepanjang 2.400 KM (dibangun tahun 1984 -2009) biaya yang dilaporkan ke Pemerintah adalah sebesar US$ 2,2 per mmbtu.

Sementara Badan Usaha lainnya yang memiliki pipa Cilamaya – Cilegon yang dibangun tahun 1974 dengan skema hulu, dengan panjang pipa hanya 360 km tarif toll fee nya mencapai US$ 1,9 per mmbtu.
 
“Dengan pipa yang lebih tua dan lebih pendek, tapi tarif-nya justru jauh lebih tinggi. Ini mirip penggelembungan nilai aset seperti halnya terjadi di bursa lelang barang antik,”ujar Aris
 
Terkait dengan pelaksanaan open access pada pipa hilir gas, PGN telah melaksanakannya pada ruas Grissik-Batam-Singapura jauh sebelum Permen ESDM No 19/2009 dikeluarkan. Namun kemudian disalahgunakan dengan munculnya broker yang mendapat alokasi gas dari JOB Pertamina-Talisman Jambi Merang.

Hal serupa juga terjadi di Jawa Timur dan di Jawa Barat. Para broker gas yang menerima alokasi gas dari Pertagas Niaga berbondong-bondong memanfaatkan pipa open access yang dibangun oleh negara pada tahun 1974.  Mereka kemudian menjual gas kepada konsumen dengan margin yang tidak bisa dipantau oleh Pemerintah.

“Perpanjangan rantai bisnis gas ini selain menimbulkan stagnasi pengembangan infrastruktur gas, juga membuat ekonomi biaya tinggi. Jadi tidak ada sejarahnya open access akan menurunkan harga gas,” papar Aris. (Yas/Ahm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya