Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terjadi hingga hari ini berimbas pada keuntungan perajin kain batik tulis negeri ini.
Perajin Batik Tulis Lasem Asri Ana Budya Parlan menuturkan, hingga kini bahan baku pembuatan batik tulis sebagian besar dipasok dari impor meski barang jadinya merupakan hasil karya dalam negeri.
"Bahan baku naik, kain malam, pewarna karena dolar naik, pewarnanya dari Jerman, kainnya memang dibuat di Indonesia tetapi komponen dari luar, otomatis pembuatan kain juga naik," kata Parlan saat berbincang dengan Liputan6.com dalam Pameran Katumbiri, seperti yang ditulis Kamis (12/12/2013).
Selain itu, beban Parlan semakin berat ketika harga bahan pokok naik sehingga membuat dirinya menaikan upah perajin yang bekerja ditempatnya.
"Selain bahan baku naik, upah pekerja naik, untuk mengejar kehidupan, otomatis yang tertimpa perajin, untuk kebutuhan hidup juga naik," ungkap dia.
Namun meski biaya produksi meningkat, Parlan mengaku tidak menaikan harga jual kain batik tulisnya. Ini otomatis membuat keuntungannya kian tipis. Untuk harga batik tulis yang dijualnya berkisar antara Rp 110 hingga Rp 2 juta.
"Semua kain tulis tangan (karyanya), untungnya mepet, karena harga jual tetap tapi bahan baku naik," tuturnya.
Banyaknya perajin batik tulis yang membanderol dengan harga bersaing menjadi alas Parlan mempertahankan harga batiknya. Selain itu para tengkulak yang membeli batik tulisnya tidak memberi toleransi untuk menaikkan harga.
Untuk meringankan beban yang ditanggungnya, saat ini Parlan mengurangi kapasitas produksi kain batik tulis. Harapannya para tengkulak segera menaikan harga belinya sehingga keuntungannya kembali normal.
"Mungkin produksinya dikurangi, mudah-mudahan harga jual ditingkatkan, karena perajin banyak persaingan, biasanya yang merusak harga itu bakul (tengkulak)," pungkasnya. (Pew/Nrm)
Perajin Batik Tulis Lasem Asri Ana Budya Parlan menuturkan, hingga kini bahan baku pembuatan batik tulis sebagian besar dipasok dari impor meski barang jadinya merupakan hasil karya dalam negeri.
"Bahan baku naik, kain malam, pewarna karena dolar naik, pewarnanya dari Jerman, kainnya memang dibuat di Indonesia tetapi komponen dari luar, otomatis pembuatan kain juga naik," kata Parlan saat berbincang dengan Liputan6.com dalam Pameran Katumbiri, seperti yang ditulis Kamis (12/12/2013).
Selain itu, beban Parlan semakin berat ketika harga bahan pokok naik sehingga membuat dirinya menaikan upah perajin yang bekerja ditempatnya.
"Selain bahan baku naik, upah pekerja naik, untuk mengejar kehidupan, otomatis yang tertimpa perajin, untuk kebutuhan hidup juga naik," ungkap dia.
Namun meski biaya produksi meningkat, Parlan mengaku tidak menaikan harga jual kain batik tulisnya. Ini otomatis membuat keuntungannya kian tipis. Untuk harga batik tulis yang dijualnya berkisar antara Rp 110 hingga Rp 2 juta.
"Semua kain tulis tangan (karyanya), untungnya mepet, karena harga jual tetap tapi bahan baku naik," tuturnya.
Banyaknya perajin batik tulis yang membanderol dengan harga bersaing menjadi alas Parlan mempertahankan harga batiknya. Selain itu para tengkulak yang membeli batik tulisnya tidak memberi toleransi untuk menaikkan harga.
Untuk meringankan beban yang ditanggungnya, saat ini Parlan mengurangi kapasitas produksi kain batik tulis. Harapannya para tengkulak segera menaikan harga belinya sehingga keuntungannya kembali normal.
"Mungkin produksinya dikurangi, mudah-mudahan harga jual ditingkatkan, karena perajin banyak persaingan, biasanya yang merusak harga itu bakul (tengkulak)," pungkasnya. (Pew/Nrm)