Februari: Dokter Terawan, si Pencuci Otak yang Kontroversial

Pengobatan cuci otak (brain washing) dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad (K), menjadi pilihan dalam kaleidoskop kesehatan 2013 edisi Januari.

oleh Melly Febrida diperbarui 13 Des 2013, 16:00 WIB
Pengobatan cuci otak (brain washing) untuk menyembuhkan stroke membuat nama dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad (K), mencuat. Namun, metode pengobatan ini ditanggapi berbeda-beda, ada yang pro dan kontra. Seperti apa pengobatan yang dilakukan?

Teknik yang dilakukan Letkol CKM dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad (K) adalah membersihkan otak dari penyumbatan yang membuat seseorang bisa mengalami stroke

Menteri BUMN Dahlan Iskan termasuk yang pernah melakukan metode cuci otak itu. Ia pun menceritakan pengalamannya dalam sebuah tulisan meski metode ini masih diperdebatkan karena banyak dokter yang beranggapan cara pengobatan itu tidak tepat dan salah kaprah [Baca: Dokter Terawan si Pencuci Otak di Mata Dahlan Iskan]

Dahlan mengaku sebenarnya sudah lama ingin mencoba metode membersihkan saluran darah di otak itu sejak menjabat sebagai Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN). Namun kesibukannya itulah yang membuatnya baru menggolkan rencananya dengan melakukan cuci otak di RSPAD Gatot Subroto pada 15 Februari 2013.

Siapa sebenarnya dr Terawan? Dalam catatan Dahlan, dr Terawan merupakan Ahli Radiologi yang kini berusia 48 tahun, yang berpatner dengan dokter tugas, ahli syaraf.

dr Terawan merupakan Kolonel TNI AD yang merupakan lulusan Universitas Gajah Mada Yogyakarta dengan spesialisasi radiologi dari Universitas Airlangga Surabaya. Terawan lahir di Yogyakarta pada 5 Agustus 1964 ini.

Dahlan mengatakan dalam tulisannya bahwa sebenarnya ia tidak dalam keadaan sakit dan tak mengeluh apa pun. Namun ia penasaran ingin mencoba metode yang katanya bisa mengobati stroke.

"Mencoba merasakan cuci otak ini bisa dianggap penting, bisa juga tidak. Saya ingin mencobanya karena ini merupakan metode baru untuk membersihkan saluran-saluran darah di otak. Agar terhindar dari bahaya stroke atau pendarahan di otak".

"Dua bencana ini biasanya datang tiba-tiba. Kadang tanpa gejala apa-apa. Dan bisa menimpa siapa saja," kata Dahlan.

Dahlan menyadari, metode cuci otak yang dilakukan dr Terawan masih kontroversial. Kalangan dokter juga masih terpecah belah pendapatnya. Namun, ia ingin tak secara langsung seperti apa cuci otak itu.

Sebenarnya, Dahlan sudah berkali-kali tertunda mencoba metode cuci otak. Itu karena ada pasien yang lebih mendesak untuk ditangani. "Sebagai orang sehat saya harus mengalah," kata Dahlan.

Dan Dahlan mendapat kesempatan lagi pada Kamis 14 Februari 2013. Ia langsung mendatangi RSPAD dan menjalani sejumlah pemeriksaan awal seperti periksa darah, jantung, paru dan MRI. Hal yang terpenting dilakukan adalah pemetaan syaraf otak. "Beberapa tes dilakukan. Untuk mengetahui kondisi syaraf maupun fungsi otak".

"Keesokan harinya, pagi-pagi, saya sudah bisa menjalani cuci otak di ruang operasi. Saya sudah tahu apa yang akan terjadi karena dua minggu sebelumnya istri saya sudah lebih dulu menjalaninya. Saat itu saya menyaksikan dari layar komputer".

Langkah demi langkah dilakukan dr Terawan dan apa yang dirasakan Dahlan di akhir pengobatan? Dahlan merasakan di otak dan mulutnya terasa `pyar` yang lembut disertai rasa mentos yang ringan.


Pengobatan Salah Kaprah



Metode pengobatan cuci otak memang masih diperdebatkan banyak dokter. Alasannya, metode itu dilakukan seorang dokter radiologi dan belum dilakukan serangkaian penelitian ilmiah yang menjamin cara itu aman.

Ketua Persatuan Dokter Saraf Seluruh Indonesia (Perdossi) Prof. Dr. dr. Hasan Machfoed, SpS (K), MS, menilai ada yang salah kaprah dalam metode cuci otak. Prosedur Digital Subtraction Angiography (DSA) yang dilakukan pada cuci otak, telah dinaikan pangkat dari sarana diagnosis menjadi sarana terapi, bahkan juga dibengkokan menjadi sarana prevensi. Sesuatu hal yang salah kaprah menurut medis [Baca: Pakar Saraf Tanggapi Testimoni Cuci Otak Dahlan Iskan].

Sebenarnya, kalau cuci otak yang dilakukan itu sesuai prosedur dan memiliki dasar ilmiah yang benar tentu tidak perlu ada yang disembunyikan. Sikap ini tergolong unik, sekaligus langka. Dalam forum ilmiah, biasanya seorang dokter bersikap terbuka atas metode yang dilakukannya. Dari forum itu bisa dinilai dasar ilmiah dari tindakannya. Bila dinilai benar, maka yang bersangkutan memiliki legitimasi ilmiah dari koleganya. Bukan legitimasi testimoni masyarakat yang kebenarannya diragukan. Merahasiakan suatu metode pengobatan sangat bertentangan dengan etika kedokteran.

Profesor Hasan menulis, pendapat kalangan dokter juga masih terbelah. Masih banyak dokter yang belum bisa menerimanya sebagai bagian dari medical treatment. Kalau saja ada 1.000 dokter, 400 orang setuju metode cuci otak dan 600 lainnya menolak, itu bisa dikatakan pendapat yang terbelah, karena jumlahnya hampir seimbang. Namun, kalau dari 1.000, hanya 20 orang saja yang setuju, itu bukan terbelah namanya. Kenyataannya, lebih dari 98 persen masyarakat kedokteran Indonesia belum menerima cuci otak.

"Mengapa masyarakat kedokteran Indonesia belum menerima cuci otak? Jawabnya sederhana yaitu, mereka perlu penjelasan secara tuntas prosedur cuci otak itu. Jangankan pada masyarakat, pada forum ilmiah kedokteran pun dr Terawan enggan membukanya. Contohnya, tanggal 4 Oktober 2011, ketika Tim Karotis RSCM yang diketuai Prof. Dr. Teguh Ranakusuma, Sp.S(K) minta keterangan dr Terawan obat apa yang dimasukan, beliau menolak menjelaskan. Tentu penolakan ini membuat para ahli RSCM itu kecewa," tulis Profesor Hasan.

Atas sikap rahasia dr Terawan tentang obat yang dimasukan, masyarakat kedokteran Indonesia hanya bisa menerka-nerka. Satu-satunya obat yang mampu menghancurkan bekuan darah penyumbat aliran otak hanyalah golongan obat yang disebut thrombolysis. Diantaranya adalah, recombinant tissue plasminogen activator (rTPA), streptokinase dan urokinase. Obat ini sangat bahaya bila diberikan lebih dari 8 jam setelah menderita stroke. Bahaya terbesar adalah perdarahan otak yang bisa merenggut nyawa pasien.

Profesor Hasan menegaskan, dari sudut neurology, tidak ada tindakan intervensi untuk mencegah stroke pada orang normal. Tindakan yang paling baik untuk mencegah stroke adalah menghindari faktor risiko stroke. Itu, antara lain, hidup teratur penuh keseimbangan, olah raga, tidak merokok, tidak minum alkohol, mencegah kegemukan, menghindari stres, mengobati hipertensi, kencing manis, lemak tinggi, dan lain-lain.

"Jadi tindakan intervensi pada orang normal untuk mencegah stroke, hanyalah omong kosong belaka".


Apa Kata Menkes?



Dengan banyaknya dokter yang `menolak` metode cuci otak, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi pun bersuara. Menurutnya, Kementerian Kesehatan akan menelaah apakah perlu melakukan uji medis untuk metode cuci otak.

"Cara pembuktiannya bisa macam-macam. Nanti kita lihat apakah perlu uji medis," kata Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi [Baca: Kemenkes Pertimbangkan Uji Medis Metode 'Cuci Otak' dr Terawan].

Menurut Nafsiah, dalam melakukan tindakan perlu dilihat dulu ada atau tidaknya manfaat untuk pasien serta apakah metode itu aman untuk pasien. Selain itu, setiap tindakan medis harus dituliskan hasilnya. Lantas bagaimana dengan obat yang digunakan? Nafsiah menjelaskan  masalah tersebut perlu melakukan pembahasan lanjut dengan organisasi profesi dan ilmuwan.

(Mel)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya