Sekali lagi, hukum Indonesia menunjukkan tajinya. Kini, giliran Irjen Joko Susilo yang merasakan godam hukum atas kasus korupsi dana simulator SIM dan pencucian uang yang dituduhkan padanya. Keputusan banding yang dia ambil berujung semakin beratnya hukuman yang diterima.
Mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri itu dihukum 18 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Padahal di Pengadilan Korupsi Jakarta, Irjen Djoko hanya divonis 10 tahun penjara.
"Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan gabungan beberapa kejahatan serta tindak pidana pencucian uang," demikian bunyi putusan Majelis Hakim yang dimuat pada laman PT DKi, Kamis (19/12/2013).
Kasus ini diadili oleh Majelis Hakim yang diketuai Roki Panjaitan. Sementara Hakim Humuntal Pane, M. Djoko, Sudiro, dan Amiek. Putusan itu dibacakan pada Rabu 18 Desember 2013.
Selain menaikkan hukuman dari 10 tahun menjadi 18 tahun penjara, Majelis Hakim juga menjatuhkan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan untuk mantan Gubernur Akademi Kepolisian itu. Dalam putusan pengadilan Tipikor, denda yang dikenakan hanya Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Irjen Djoko juga diwajibkan membayar uang pengganti Rp 32 miliar--dalam putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Irjen Djoko tidak diminta membayar uang pengganti.
"Apabila Terdakwa tidak membayar uang pengganti dalam waktu 1 bulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Apabila harta bendanya tidak mencukupi, maka dijatuhi pidana penjara selama 5 tahun," tambah putusan tersebut.
Hukuman untuk suami dari 3 perempuan ini tak sampai di situ. Hak politiknya juga turut dilucuti. Dan ini pertama kali hak politik terdakwa korupsi 'disunat'. "Menghukum Terdakwa dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik."
Pelucutan hak politik Irjen Djoko Susilo ini sebelumnya ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor. Saat itu Majelis hakim berpendapat hukuman 10 tahun sudah cukup lama, "Maka akan terseleksi sendiri oleh organisasi politik tertentu," ujar Hakim Anwar saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Selasa 3 September silam.
Soal pelucutan hak politik Irjen Djoko Susilo itu, sejumlah politisi DPR menganggap telah melampauai batas. Sebab, hukuman pidana hanyalah hukuman badan, bukan konstitusinya.
"Terlalu berat, nggak boleh hak politik seseorang dicabut, melampaui kewenangan. Seharusnya hukuman badan saja. Hak politik itu hak yang paling mendasar," kata anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo.
Politisi partai Golkar ini mengatakan, lebih baik hukuman tahanannya yang diperberat. Karena untuk koruptor diperberat hukumannya adalah suatu kewajaran. "Itu suatu yang wajar," ujar Bambang.
Pendapat serupa disampaikan anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Ahmad Yani. Menurut dia, tidak ada korelasi efek jera dengan pencabutan hak berpolitik untuk Djoko Susilo.
"Itulah sesungguhnya. Ya saya setuju saja kalau putusan pengadilan. Tidak ada korelasinya efek jera terhadap Djoko Susilo dengan pencabutan hak politiknya," tutur Yani.
Sementara, pengacara Irjen Djoko Susilo, Juniver Girsang mempertanyakan pertimbangan hukum yang dipakai oleh Majelis Hakim PT DKI yang memperberat hukuman kliennya. "Terus terang saja, terhadap putusan itu kami belum mengetahui secara resmi apa pertimbangannya," ujar Juniver Girsang.
Saat ini, lanjut Juniver, tim pengacara akan fokus berkomunikasi dengan Djoko Susilo yang sedang mendekam di Rutan Komisi Pemberantasan Korupsi, di Pomdam Guntur Jakarta. "Nanti setelah kami ketahui resmi, kami pelajari dan cermati, baru kami tentukan langkah selanjutnya," lanjut Juniver.
Bagi KPK, vonis Irjen Djoko Susilo itu merupakan 'kado' bagi para korban koruptor di akhir 2013 ini. Bambang mengibaratkan putusan ini sebagai kado bagi rakyat Indonesia yang selama ini hidup susah gara-gara kejahatan korupsi. Selain itu, lanjut Bambang, putusan Pengadilan Tinggi Jakarta itu juga menunjukkan jika saat ini pengadilan sudah semakin berwibawa dan tidak bisa dipermainkan lagi.
"Semoga putusan itu akan mengalami proses mainstreaming menjadi kebijakan umum dari suatu institusi penegakan hukum yang masih dipercaya sebagai pencari keadilan," kata Bambang.
Kasus Lain
Irjen Djoko Susilo bukan satu-satunya terdakwa korupsi yang diperberat hukumannya. Sebelumnya, melalui putusan kasasi, Mahkamah Agung memperberat hukuman untuk Angelina Sondakh alias Angie yang menjadi terdakwa kasus korupsi proyek wisma atlet SEA games dan anggaran di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Namun beruntung bagi Angie, hakim tidak melucuti hak politiknya dalam putusan kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum itu.
Di tingkat kasasi, hukuman mantan Putri Indonesia itu diperberat menjadi 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 8 bulan kurungan. Selain itu juga diwajibkan membayar uang pengganti Rp 39,98 miliar. Padahal di tingkat Pengadilan Tipikor Jakarta dan Pengadilan Tinggi DKI Angie hanya divonis 4 tahun 6 bulan.
Sementara, mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq yang menjadi terdakwa suap impor daging sapi dan pencucian uang juga dihukum di atas 10 tahun. Luthfi Hasan divonis 16 tahun penjara serta didenda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan. Selain itu, seluruh harta mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu juga dirampas untuk negara.
Ada juga Ahmad Fathanah yang terlibat dalam kasus yang sama dengan Luthfi Hasan Ishaag dihukum 14 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Seluruh hartanya juga disita. Semoga dengan hukuman yang berat Indonesia bisa terbebas dari perilaku korup, khususnya oleh para pejabat. (Eks)
Mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri itu dihukum 18 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Padahal di Pengadilan Korupsi Jakarta, Irjen Djoko hanya divonis 10 tahun penjara.
"Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan gabungan beberapa kejahatan serta tindak pidana pencucian uang," demikian bunyi putusan Majelis Hakim yang dimuat pada laman PT DKi, Kamis (19/12/2013).
Kasus ini diadili oleh Majelis Hakim yang diketuai Roki Panjaitan. Sementara Hakim Humuntal Pane, M. Djoko, Sudiro, dan Amiek. Putusan itu dibacakan pada Rabu 18 Desember 2013.
Selain menaikkan hukuman dari 10 tahun menjadi 18 tahun penjara, Majelis Hakim juga menjatuhkan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan untuk mantan Gubernur Akademi Kepolisian itu. Dalam putusan pengadilan Tipikor, denda yang dikenakan hanya Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Irjen Djoko juga diwajibkan membayar uang pengganti Rp 32 miliar--dalam putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Irjen Djoko tidak diminta membayar uang pengganti.
"Apabila Terdakwa tidak membayar uang pengganti dalam waktu 1 bulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Apabila harta bendanya tidak mencukupi, maka dijatuhi pidana penjara selama 5 tahun," tambah putusan tersebut.
Hukuman untuk suami dari 3 perempuan ini tak sampai di situ. Hak politiknya juga turut dilucuti. Dan ini pertama kali hak politik terdakwa korupsi 'disunat'. "Menghukum Terdakwa dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik."
Pelucutan hak politik Irjen Djoko Susilo ini sebelumnya ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor. Saat itu Majelis hakim berpendapat hukuman 10 tahun sudah cukup lama, "Maka akan terseleksi sendiri oleh organisasi politik tertentu," ujar Hakim Anwar saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Selasa 3 September silam.
Soal pelucutan hak politik Irjen Djoko Susilo itu, sejumlah politisi DPR menganggap telah melampauai batas. Sebab, hukuman pidana hanyalah hukuman badan, bukan konstitusinya.
"Terlalu berat, nggak boleh hak politik seseorang dicabut, melampaui kewenangan. Seharusnya hukuman badan saja. Hak politik itu hak yang paling mendasar," kata anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo.
Politisi partai Golkar ini mengatakan, lebih baik hukuman tahanannya yang diperberat. Karena untuk koruptor diperberat hukumannya adalah suatu kewajaran. "Itu suatu yang wajar," ujar Bambang.
Pendapat serupa disampaikan anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Ahmad Yani. Menurut dia, tidak ada korelasi efek jera dengan pencabutan hak berpolitik untuk Djoko Susilo.
"Itulah sesungguhnya. Ya saya setuju saja kalau putusan pengadilan. Tidak ada korelasinya efek jera terhadap Djoko Susilo dengan pencabutan hak politiknya," tutur Yani.
Sementara, pengacara Irjen Djoko Susilo, Juniver Girsang mempertanyakan pertimbangan hukum yang dipakai oleh Majelis Hakim PT DKI yang memperberat hukuman kliennya. "Terus terang saja, terhadap putusan itu kami belum mengetahui secara resmi apa pertimbangannya," ujar Juniver Girsang.
Saat ini, lanjut Juniver, tim pengacara akan fokus berkomunikasi dengan Djoko Susilo yang sedang mendekam di Rutan Komisi Pemberantasan Korupsi, di Pomdam Guntur Jakarta. "Nanti setelah kami ketahui resmi, kami pelajari dan cermati, baru kami tentukan langkah selanjutnya," lanjut Juniver.
Bagi KPK, vonis Irjen Djoko Susilo itu merupakan 'kado' bagi para korban koruptor di akhir 2013 ini. Bambang mengibaratkan putusan ini sebagai kado bagi rakyat Indonesia yang selama ini hidup susah gara-gara kejahatan korupsi. Selain itu, lanjut Bambang, putusan Pengadilan Tinggi Jakarta itu juga menunjukkan jika saat ini pengadilan sudah semakin berwibawa dan tidak bisa dipermainkan lagi.
"Semoga putusan itu akan mengalami proses mainstreaming menjadi kebijakan umum dari suatu institusi penegakan hukum yang masih dipercaya sebagai pencari keadilan," kata Bambang.
Kasus Lain
Irjen Djoko Susilo bukan satu-satunya terdakwa korupsi yang diperberat hukumannya. Sebelumnya, melalui putusan kasasi, Mahkamah Agung memperberat hukuman untuk Angelina Sondakh alias Angie yang menjadi terdakwa kasus korupsi proyek wisma atlet SEA games dan anggaran di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Namun beruntung bagi Angie, hakim tidak melucuti hak politiknya dalam putusan kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum itu.
Di tingkat kasasi, hukuman mantan Putri Indonesia itu diperberat menjadi 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 8 bulan kurungan. Selain itu juga diwajibkan membayar uang pengganti Rp 39,98 miliar. Padahal di tingkat Pengadilan Tipikor Jakarta dan Pengadilan Tinggi DKI Angie hanya divonis 4 tahun 6 bulan.
Sementara, mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq yang menjadi terdakwa suap impor daging sapi dan pencucian uang juga dihukum di atas 10 tahun. Luthfi Hasan divonis 16 tahun penjara serta didenda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan. Selain itu, seluruh harta mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu juga dirampas untuk negara.
Ada juga Ahmad Fathanah yang terlibat dalam kasus yang sama dengan Luthfi Hasan Ishaag dihukum 14 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Seluruh hartanya juga disita. Semoga dengan hukuman yang berat Indonesia bisa terbebas dari perilaku korup, khususnya oleh para pejabat. (Eks)