Tiga dokter dijebloskan ke penjara karena kasus malapraktik. Ketiganya adalah dr Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr Hendi Siagian, dan dr Hendry Simanjuntak yang dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung dengan putusan 10 bulan penjara.
dr Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr Hendry Simanjuntak, dr Hendy Siagian, membantu proses operasi cesar persalinan korban bernama Julia Siska Makatey (25 tahun) pada Sabtu 10 April 2010 pukul 22.00 WITA di Ruangan Operasi Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandouw Malalayang Kota Manado. Namun, usai operasi korban meninggal dunia karena terjadi emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.
Kasus ini pun bergulir ke pengadilan. Namun, Pengadilan Negeri Manado Nomor 90/PID.B/2011/ PN.MDO tanggal 22 September 2011 memutuskan ketiga dokter tersebut tidak terbukti bersalah. Dengan putusan bebas tersebut, jaksa mengajukan banding ke Mahkamah Agung.
Di tingkat MA, hakim kasasi mengeluarkan putusan Nomor 365 K/Pid/ 2012 pada 18 September 2012 dengan mengabulkan permohonan kasasi dari Jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Manado. MA menyatakan, dr Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr Hendy Siagian (Terdakwa III) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain" dan menjatuhi hukuman penjara masing-masing selama 10 bula
Proses penangkapan itu ketiga dokter ini tak sekaligus. Awalnya, tim Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kejari Manado menangkap Dr Dewa Ayu Sasiary Prawan (38), di tempat praktiknya di Rumah Sakit Ibu dan Anak Permata Hati, Balikpapan Kalimantan Timur (Kaltim), sekitar pukul 11.04 Wita. Selang beberapa hari, pada Sabtu 23 November 2013 sekitar pukul 19.00 WIB, dr. Hendry Simanjuntak yang dijemput pihak kejaksaan dan kepolisian di rumah kakeknya di Siborong-borong, Sumatra Utara. [Baca juga: Inilah Kronologi Kasus Penangkapan Dokter Ayu].
Menurut pengakuan dr Hendry, aparat kepolisian yang datang ke rumahnya berpakaian biasa dan mengenakan topi, serta membawa senjata laras panjang. "Tiba-tiba saja saya diciduk, ditarik. Mereka menuduh saya yang tidak-tidak. Padahal saya di dalam rumah dan tidak ada niatan untuk melarikan diri," kata dr. Hendry menceritakan.
Aksi aparat yang terkesan keras itu membuat sang kakek angkat bicara dan mengingatkan para aparat untuk tidak menggunakan kekerasan dalam proses penangkapan. Namun, omongan dari pria itu tidak digubris sama sekali, dan aparat itu malah menyeret baju, dan menarik dr. Hendry dari dalam rumahnya.
Bak seorang teroris yang begitu membahayakan, aparat kepolisian pun memborgol kedua tangan dr. Hendry dan memasukkannya secara paksa ke dalam mobil tahanan.
Begitu tiba di kejaksaan, surat putusan dibacakan. Namun, ketika dr. Hendry berusaha untuk menelepon kuasa hukumnya, tindakan tidak mengenakkan kembali diterimanya.
"Begitu saya mau telepon lawyer saya, telepon saya dirampas dari tangan saya. Saya tanya, 'Kenapa tidak boleh ditelepon? Itu hak saya. Itu sudah melanggar hak asasi manusia'," kata dr. Hendry kembali bercerita [Baca juga: Kronologi Penangkapan dr. Hendry Simanjuntak].
Lantas kemanakah dr Hendi Siagian? Setelah berbulan-bulan masuk daftar pencarian orang, dr Hendy baru tertangkap pada Kamis 5 Desember 2013. Ia ditangkap di rumah saudaranya di Bekasi, Jawa Barat [Baca juga: Dr Hendy Siagian Ditangkap, 3 Dokter Dijebloskan ke Penjara.
Dosa-dosa Ketiga Dokter di Mata MA
dr Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr Hendry Simanjuntak, dr Hendy Siagian, membantu proses operasi cesar persalinan korban bernama Julia Siska Makatey (25 tahun) pada Sabtu 10 April 2010 pukul 22.00 WITA di Ruangan Operasi Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandouw Malalayang Kota Manado. Namun, usai operasi korban meninggal dunia karena terjadi emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.
Kasus ini pun bergulir ke pengadilan. Namun, Pengadilan Negeri Manado Nomor 90/PID.B/2011/ PN.MDO tanggal 22 September 2011 memutuskan ketiga dokter tersebut tidak terbukti bersalah. Dengan putusan bebas tersebut, jaksa mengajukan banding ke Mahkamah Agung.
Di tingkat MA, hakim kasasi mengeluarkan putusan Nomor 365 K/Pid/ 2012 pada 18 September 2012 dengan mengabulkan permohonan kasasi dari Jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Manado. MA menyatakan, dr Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr Hendy Siagian (Terdakwa III) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain" dan menjatuhi hukuman penjara masing-masing selama 10 bula
Proses penangkapan itu ketiga dokter ini tak sekaligus. Awalnya, tim Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kejari Manado menangkap Dr Dewa Ayu Sasiary Prawan (38), di tempat praktiknya di Rumah Sakit Ibu dan Anak Permata Hati, Balikpapan Kalimantan Timur (Kaltim), sekitar pukul 11.04 Wita. Selang beberapa hari, pada Sabtu 23 November 2013 sekitar pukul 19.00 WIB, dr. Hendry Simanjuntak yang dijemput pihak kejaksaan dan kepolisian di rumah kakeknya di Siborong-borong, Sumatra Utara. [Baca juga: Inilah Kronologi Kasus Penangkapan Dokter Ayu].
Menurut pengakuan dr Hendry, aparat kepolisian yang datang ke rumahnya berpakaian biasa dan mengenakan topi, serta membawa senjata laras panjang. "Tiba-tiba saja saya diciduk, ditarik. Mereka menuduh saya yang tidak-tidak. Padahal saya di dalam rumah dan tidak ada niatan untuk melarikan diri," kata dr. Hendry menceritakan.
Aksi aparat yang terkesan keras itu membuat sang kakek angkat bicara dan mengingatkan para aparat untuk tidak menggunakan kekerasan dalam proses penangkapan. Namun, omongan dari pria itu tidak digubris sama sekali, dan aparat itu malah menyeret baju, dan menarik dr. Hendry dari dalam rumahnya.
Bak seorang teroris yang begitu membahayakan, aparat kepolisian pun memborgol kedua tangan dr. Hendry dan memasukkannya secara paksa ke dalam mobil tahanan.
Begitu tiba di kejaksaan, surat putusan dibacakan. Namun, ketika dr. Hendry berusaha untuk menelepon kuasa hukumnya, tindakan tidak mengenakkan kembali diterimanya.
"Begitu saya mau telepon lawyer saya, telepon saya dirampas dari tangan saya. Saya tanya, 'Kenapa tidak boleh ditelepon? Itu hak saya. Itu sudah melanggar hak asasi manusia'," kata dr. Hendry kembali bercerita [Baca juga: Kronologi Penangkapan dr. Hendry Simanjuntak].
Lantas kemanakah dr Hendi Siagian? Setelah berbulan-bulan masuk daftar pencarian orang, dr Hendy baru tertangkap pada Kamis 5 Desember 2013. Ia ditangkap di rumah saudaranya di Bekasi, Jawa Barat [Baca juga: Dr Hendy Siagian Ditangkap, 3 Dokter Dijebloskan ke Penjara.
Dosa-dosa Ketiga Dokter di Mata MA
Berdasarkan beberapa pertimbangan dari alat bukti, keterangan saksi, bukti surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa, Majelis Hakim Kasasi memperoleh fakta bahwa :
1. Berdasarkan keterangan dari saksi dr. HERMANUS JAKOBUS LALENOH, Sp. An. bahwa jawaban konsul terhadap surat konsul yang dikirim oleh bagian kebidanan kepada bagian anestesi tersebut yang menyatakan: pada prinsipnya kami setuju untuk dilaksanakan pembedahan dengan anestesi resiko tinggi, oleh karena ini adalah operasi darurat maka mohon dijelaskan kepada keluarga risiko yang bisa terjadi "darut"/ sebelum operasi atau "post"/ usai operasi.
Bahwa penyebab udara masuk dari setiap pembuluh darah balik yang terbuka yaitu dari infus atau dari suntikan obat tetapi dalam kepustakaan dikatakan udara yang masuk dari pembuluh darah balik ini hanya bisa menyebabkan kecelakaan penting yang kalau dia di atas 25 mg dan kalau di bawah tidak akan menyebabkan apa-apa.
Kemudian dalam kenyataan pemberian obat dari infus tidak pernah masuk udara karena dari suntik disposible untuk masuk udara, selanjutnya dari kepustakaan yang saksi baca dan saksi dapat dalam pendidikan saksi yaitu kemungkinan yang bisa juga adalah terutama dalam operasi persalinan bahkan di dalam aturan dikatakan bahwa udara bisa masuk sering terjadi pada operasi bedah saraf dengan posisi pasien setengah duduk bisa terjadi pada saat dia terkemuka itu udara bisa masuk.
Pada bagian kebidanan yang bisa sering terjadi bukan saja pada SECTIO CESARIA tetapi juga pada kuretase bahkan dalam laporan kasus yaitu untuk hubungan intim dimana suami memakai oral itu bisa terjadi masuk udara, kasus ini memang jarang tetapi bisa saja terjadi.
Jadi pada waktu bayi lahir plasenta terangkat pembuluh darah itu terbuka yaitu pembuluh darah arteri/ pembuluh darah yang pergi yang warna merah dan pembuluh darah balik/ arteri yang warna hitam. Jadi kemungkinan udara yang masuk berdasarkan hasil visum bisa saja terjadi dari beberapa hal tadi, selanjutnya tugas anestesi dalam hal ini telah selesai karena pasien/ korban sudah membuka mata dan bernapas spontan kecuali jika saat pasien sebelum dirapihkan semua kemudian meninggal maka masih merupakan tugas dan tanggung jawab dari anestesi dan kebidanan.
2. Berdasarkan keterangan dari saksi Prof. Dr. NAJOAN NAN WAROUW, Sp.OG. bahwa Terdakwa I (satu) mengatakan : operasi terhadap pasien/ korban telah selesai dilaksanakan dan pada saat operasi dilakukan yaitu sejak sayatan dinding perut pertama sudah mengeluarkan darah hitam, selama operasi dilaksanakan kecepatan nadi tinggi yaitu 160 (seratus enam puluh) x per menit , saturasi oksigen hanya berkisar 85 % (delapan puluh lima persen) sampai dengan 87% (delapan puluh tujuh persen).
Setelah operasi selesai dilakukan kecepatan nadi pasien/ korban adalah 180 (seratus delapan puluh) x per menit dan setelah selesai operasi baru dilakukan pemeriksaan EKG/ periksa jantung yang dilakukan oleh bagian penyakit dalam dan saksi menanyakan apakah sudah dilakukan pemeriksaan jantung karena saksi berpikir keadaan ini penyebabnya dari jantung.
Serta dijawab oleh Terdakwa I (satu) sementara dilakukan pemeriksaan dan hasilnya sudah ada yaitu bahwa pada penderita terjadi "Ventrikel Tachy Kardi" (denyut nadi yang cepat) tetapi saksi mengatakan bahwa itu bukan "Ventrikel Tachy Kardi" (denyut nadi yang cepat). Jika denyut nadi sudah di atas 160 x per menit tetapi "Fibrilasi" yaitu pertanda bahwa pada jantung terjadi kegagalan yang akut dan pasti pasien akan meninggal karena biasanya kegagalan akut itu karena "emboli" (penyumbatan pembuluh darah oleh suatu bahan seperti darah, air ketuban, udara, lemak, trombus dan komponen-komponen lain).
Serta pasien/ korban pasti meninggal, selanjutnya dikabarkan bahwa pada waktu kurang lebih pukul 22.20 WITA, pasien/ korban dinyatakan meninggal dunia oleh bagian penyakit dalam.
3. Berdasarkan keterangan dari Ahli dr. ROBBY WILLAR, Sp.A. bahwa pada saat plasenta keluar, pembuluh darah yang berhubungan dengan plasenta terbuka dan udara bisa masuk dari plasenta tetapi tidak berpengaruh terhadap bayi karena sebelum plasenta dikeluarkan bayi sudah dipotong/ bayi lebih dulu keluar kemudian tali pusat/ plasenta dipotong.
4. Berdasarkan keterangan dari Ahli JOHANNIS F. MALLO, SH. Sp.F. DFM. bahwa infus dapat menyebabkan emboli udara tetapi kecil kemungkinan dan hal tersebut dapat terjadi karena efek venturi, kemudian kapan efek venturi terjadi yaitu korban meninggal dunia pukul 22.20 WITA, infus 20 tetes = 100 cc/ menit, operasi dilakukan pukul 20.55 WITA, anak lahir pukul 21.00 WITA dalam hal ini udara sudah masuk terlebih dulu kemudian dilaksanakan operasi, maka 30 menit sebelum pelaksanaan operasi sudah terdapat 35 cc udara.
Para Terdakwa telah melakukan tindakan kedokteran dan telah menimbulkan kerugian terhadap korban yaitu korban meninggal dunia, sehingga dengan demikian maka unsur-unsur sebagaimana yang telah didakwakan oleh kami Jaksa/ Penuntut Umum dalam Surat Dakwaan tersebut telah terpenuhi menurut hukum.
Bahwa unsur "kelalaian" yaitu : Bahwa keterangan dari saksi Prof. Dr. NAJOAN NAN WAROUW, Sp.OG., Terdakwa I (satu) melaporkan ketuban pasien/ korban sudah dipecahkan di Puskesmas dan jika ketuban sudah pecah berarti air ketuban sudah keluar semua.
Selanjutnya sejak Terdakwa I (satu) mengawasi korban pada pukul 09.00 WITA sampai dengan pukul 18.00 WITA tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa I (satu) hanya pemeriksaan tambahan dengan "USG (Ultrasonografi)" dan sebagian tindakan medis yang telah dilakukan tidak dimasukkan ke dalam rekam medis.
Dan Terdakwa I (satu) sebagai ketua residen yang bertanggung jawab saat itu tidak mengikuti seluruh tindakan medis beserta rekam medis termasuk Terdakwa I (satu) tidak mengetahui tentang pemasangan infus yang telah dilakukan terhadap korban.
Bahwa ternyata pada pukul 18.30 WITA tidak terdapat kemajuan persalinan pada korban, Terdakwa I (satu) melakukan konsul dengan konsulen jaga dan setelah mendapat anjuran, Terdakwa I (satu) mengambil tindakan untuk dilakukan CITO SECSIO SESARIA, kemudian Terdakwa I (satu) menginstruksikan kepada saksi dr. HELMI untuk membuat surat konsul ke bagian anestesi dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap dan setelah mendapat jawaban konsul dari saksi dr. HERMANUS JAKOBUS LALENOH, Sp.An. yang menyatakan bahwa pada prinsipnya setuju untuk dilaksanakan pembedahan dengan anestesi resiko tinggi, oleh karena ini adalah operasi darurat maka mohon dijelaskan kepada keluarga resiko yang bisa terjadi sebelum operasi atau usai operasi.
Terdakwa I (satu) menugaskan kepada dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa Ill) untuk memberitahukan kepada keluarga pasien/ korban tetapi ternyata hal tersebut tidak dilakukan oleh Terdakwa III (tiga) melainkan Terdakwa III (tiga) menyerahkan "informed consent"/ lembar persetujuan tindakan kedokteran tersebut kepada korban yang sedang dalam posisi tidur miring ke kiri dan dalam keadaan kesakitan dengan dilihat oleh dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I) dari jarak kurang lebih 7 (tujuh) meter, dr. HENDRY SIMANJUNTAK (Terdakwa II) dari jarak kurang lebih 3 (tiga) meter sampai dengan 4 (empat) meter juga turut diketahui dan dilihat oleh saksi dr. HELMI.
Tetapi ternyata tanda tangan yang tertera di dalam lembar persetujuan tersebut adalah tanda tangan karangan sesuai dengan hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik pada tanggal 09 Juni 2010 NO.LAB. : 509/DTF/2011, yang dilakukan oleh masing-masing lelaki Drs. SAMIR, S.St. Mk., lelaki ARDANI ADHIS, S. A.Md. dan lelaki MARENDRA YUDI L. SE., menyatakan bahwa tanda tangan atas nama SISKA MAKATEY alias JULIA FRANSISKA MAKATEY pada dokumen bukti adalah tanda tangan karangan/ "Spurious Signature".
Selanjutnya korban dibawa ke kamar operasi pada waktu kurang lebih pukul 20.15 WITA dalam keadaan sudah terpasang infus dan pada pukul 20.55 WITA dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI (Terdakwa I) sebagai operator mulai melaksanakan operasi terhadap korban dengan dibantu oleh dr. HENDRY SIMANJUNTAK (Terdakwa II) sebagai asisten operator I (satu) dan dr. HENDY SIAGIAN (Terdakwa III) sebagai asisten operator II (dua).
Bahwa selama pelaksanaan operasi kondisi nadi korban 160 (seratus enam puluh) x per menit dan saat sayatan pertama mengeluarkan darah hitam sampai dengan selesai pelaksanaan operasi, kemudian pada pukul 22.00 WITA setelah operasi selesai dilaksanakan kondisi nadi korban 180 (seratus delapan puluh) x per menit dan setelah selesai operasi baru dilakukan pemeriksaan EKG/ periksa jantung oleh bagian penyakit dalam.
Selanjutnya berdasarkan keterangan Ahli JOHANNIS F. MALLO, SH. Sp.F. DFM. bahwa 30 menit sebelum pelaksanaan operasi sudah terdapat 35 cc udara di dalam tubuh korban.
Bahwa pada saat pelaksanaan operasi, Terdakwa I (satu) melakukan sayatan sejak dari kulit, otot, uterus serta rahim dan pada bagian-bagian tersebut terdapat pembuluh darah yang sudah pasti ikut terpotong dan saat bayi lahir, plasenta keluar/ terangkat sehingga pembuluh darah yang berhubungan dengan plasenta yaitu pembuluh darah arteri dan pembuluh darah balik terbuka dan udara bisa masuk dari plasenta.
Kemudian berdasarkan hasil Visum et Repertum disebutkan bahwa udara yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban, masuk melalui pembuluh darah balik yang terbuka pada saat korban masih hidup. Pembuluh darah balik yang terbuka pada korban terjadi pada pemberian cairan obat-obatan atau infus, dan dapat terjadi akibat komplikasi dari persalinan itu sendiri.
Sebab kematian si korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung [Baca juga: `Dosa-dosa` Dokter Ayu, Dokter Hendry & Dokter Hendy di Mata MA].
Giliran Dokter Berdemo
Advertisement
Karena kasus yang menimpa ketiga dokter ini, hampir seluruh dokter kandungan di Indonesia kompak tak praktik sehari pada Rabu 27 November. Dokter-dokter ini hanya melayani pasien emergensi saja.
Pernyataan ini disampaikan Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) melalui Surat Pemberitahuan Rencana Aksi Solidaritas Keprihatinan POGI, yang diterima tim Health Liputan6.com melalui surat elektronik.
"Kami sadar bahwa aksi kami akan membuat masyarakat menjadi tidak nyaman. Oleh karena itu, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada masyarakat dan mohon pengertiannya," tulis Pengurus Besar POGI, dr. Nurdadi Saleh, SpOG dalam suratnya [Baca Juga: Dokter Kandungan Kompak Tak Praktik Sehari Rabu 27 November]
Sebenarnya, dalam rencana awal yang akan melakukan mogok praktik dan turun ke jalan hanyalah dokter Spesialis Kandungan (SpOG). Namun nyatanya, banyak dokter dari spesialis lain yang turut serta dalam aksi unjuk rasa itu.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dr Zaenal Abidin MHKes mengatakan bahwa hal seperti itu biasa terjadi dan dinilai sebagai bentuk solidaritas dari sesama profesi [baca juga: IDI: Unjuk Rasa Para Dokter Bentuk Solidaritas].
Sosok Korban dan Bagaimana Nasib Anaknya
Di balik kasus malapraktik ini ada korban yang bernama Fransiska Makatey. Ia merupakan perawat di Wasior, Papua dan ingin melahirkan anak keduanya di Manado. Ia masuk ke RS Dr Kandau Manado atas rujukan puskesmas. Pada waktu itu, ia didiagnosis sudah dalam tahap persalinan pembukaan dua.
Namun, setelah delapan jam masuk tahap persalinan, tidak ada kemajuan dan justru malah muncul tanda-tanda gawat janin, sehingga ketika itu diputuskan untuk dilakukan operasi caesar darurat.
"Saat itu terlihat tanda tanda gawat janin, terjadi mekonium atau bayi mengeluarkan feses saat persalinan sehingga diputuskan melakukan bedah sesar," ujarnya.
Tapi yang terjadi menurut dr Nurdadi, pada waktu sayatan pertama dimulai, pasien mengeluarkan darah yang berwarna kehitaman. Dokter menyatakan, itu adalah tanda bahwa pasien kurang oksigen.
"Tapi setelah itu bayi berhasil dikeluarkan, namun pasca operasi kondisi pasien semakin memburuk dan sekitar 20 menit kemudian, ia dinyatakan meninggal dunia," ungkap Nurdadi, seperti ditulis Senin (18/11/2013) [Baca juga: Sosok Julia Fransiska Makatey, Korban Malpraktik dr Ayu & Rekan]
Lalu bagaimana nasib sang bayi? Ternyata, buah hati Sisca sempat masuk inkubator karena muntah darah. Namun kini kondisi anak Siska, Flora Fransiska Notanubun sudah berusia 3 tahun, dalam keadaan sehat. "Meskipun waktu Flora baru lahir sempat muntah darah dan masuk inkubator selama 2 minggu, saat ini kondisinya sangat sehat," kata Jull.
Jull mengatakan, saat ini Flora dirawat oleh keluarga Siska karena ayahnya sudah menikah kembali dengan wanita lain [Baca juga: Ribut Kasus dr. Ayu, Bagaimana Kabar Anak Siska Makatey?]
(Mel/*)
Advertisement