November: UMP Diketok Jokowi, Buruh Mengamuk

Cerita soal penetapan UMP 2014 sangat disorot masyarakat. Diwarnai protes, kritik hingga aksi demo berminggu-minggu. Buruh terus berjuang.

oleh Nurseffi Dwi Wahyuni diperbarui 27 Des 2013, 16:38 WIB
Cerita soal penetapan upah minimum provinsi (UMP) 2014 cukup menjadi sorotan masyarakat. Bagaimana tidak, menjelang pengumuman UMP, jutaan buruh kompak melakukan demonstrasi di sejumlah daerah guna menuntut kenaikan upah yang layak.

Tak tanggung-tanggung, buruh menuntut kenaikan upah 50%. Khusus di Jakarta upah yang dituntut buruh cukup fantastis yaitu mencapai Rp 3,7 juta.

Tentu saja tuntutan itu menuai protes kalangan pengusaha. Meski akhirnya Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo memutuskan UMP 2014 hanya naik 9% menjadi Rp 2,44 juta dari tahun ini Rp 2,2 juta. Menanggapi keputusan itu, buruh tidak tinggal diam dengan kenaikan yang jauh dari impian.

Kembali mengingatkan Anda, berikut lika liku penetapan UMP dan aksi demo buruh yang diangkat dalam serial Kaleidoskop Bisnis 2013 Edisi November seperti ditulis Jumat (27/12/2013):


Tuntutan buruh: UMP naik jadi Rp 3,7 juta

Berawal dari keinginan buruh hidup lebih layak. Muncullah tuntutan angka Rp 3,7 juta untuk UMP 2014. Para buruh mengklaim tuntutan kenaikan upah tersebut merupakan hal yang wajar.

Apalagi UMP pekerja di Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Thailand dan Filipina. Di Thailand, upah pekerjanya sudah mencapai Rp 2,8 juta, sementara Filipina sebesar Rp 3,2 juta.

"Indonesia misalkan untuk DKI Jakarta baru sebesar Rp 2,2 juta," ujar Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI)  Muhammad Rusli.

Dengan melihat kenyataan dengan membandingkan besaran upah Indonesia dengan kedua negara tersebut, buruh menilai wajar meminta kenaikan  upah yang mencapai 50% dibandingkan 2013.

Apalagi, lanjut dia, kondisi perekonomian Indonesia masih jauh lebih baik dibandingkan dengan kedua negara tersebut. Di mana posisinya berada di peringkat kedua setelah China. Dia pun yakin dengan kondisi perekonomian yang ada, pengusaha sebenarnya mampu memenuhi tuntutan mereka.

Wakil Presiden Forum Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Iswan Abdulah menerangkan, berdasarkan hasil survei pasar yang dilakukan dewan pengupahan dari unsur  buruh, dengan menggunakan metode regresi atau proyeksi sesuai dengan Permenakertrans Nomor 13 tahun 2012 menunjukan upah minimum DKI Jakarta adalah Rp 3.761.445,28.

"Angka ini didapat dari hasil perhitungan pertumbuhan ekonomi 6% dan inflasi sebesar 9%. Jadi tidak ada alasan bagi pemerintah  menetapkan kenaikan UMP di bawah apa yang menjadi tuntutan buruh DKI sebab semua telah memenuhi mekanisme penetapan upah minimum sesuai UU Nomor 13 tahun 2003," jelas Anggota Dewan Pengupahan Nasional dari unsur Buruh itu.



Banjir protes dan kritik pedas

Tuntutan buruh agar upah dinaikkan menjadi Rp 3,7 juta menuai protes dari kalangan pengusaha. Sama seperti buruh, mereka juga memiliki alasan tersendiri untuk menolak tuntutan buruh.

Pasalnya, kenaikan upah buruh yang terlalu tinggi akan mendongkrak biaya produksi (terutama industri padat karya) sehingga barang yang  dijual ikut naik. Kenaikan harga tentu akan memberatkan konsumen.

Mahalnya barang yang dijual juga membuat produk lokal menjadi kalah bersaing dengan produk impor yang dijual  lebih murah sehingga masyarakat akan lebih memilih beli produk impor.

Jika harga barang tidak dinaikkan, pengusaha akan rugi karena tidak bisa menutupi biaya produksi.  Ketika pengusaha merugi maka akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) yang akhirnya akan merugikan buruh juga. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan sebanyak 3,2 juta orang kehilangan pekerjaan sepanjang Februari-Agustus 2013. Penyebab utama dari PHK tersebut disebabkan penetapan UMP di seluruh pelosok Indonesia pada tahun lalu.

"Indikasi pengurangan orang bekerja karena kenaikan UMP, contohnya Jakarta yang menaikkan UMP hingga 40%, lalu diikuti dengan pengurangan karyawan," ujar Kepala BPS Suryamin.

Tak hanya itu, tingginya upah bisa membuat perusahaan lokal dan asing memilih memindahkan pabriknya ke kota lain yang upahnya lebih murah dari Jakarta, atau memindahkan pabrik ke luar negeri yang besaran UMP-nya jauh lebih murah.

Hal itu dibukti oleh adanya 37 perusahaan  di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) yang telah mengirimkan surat permintaan kepada asosiasi pengusaha agar UMP 2014 tidak naik.

Perusahaan yang mengajukan permintaan perihal UMP tersebut sebagian besar bergerak pada industri padat karya, seperti garmen, tekstil dan lainnya.

Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) DKI Jakarta, Sarman Simanjorang mengungkapkan,  dalam surat tersebut pengusaha mengaku tidak bisa lagi menerima kenaikan UMP karena pada tahun lalu upah buruh sudah meningkat hingga 44%.

"Kalau naik ya mereka itu bisa benar-benar relokasi dari Jakarta ke luar bisa ke daerah lain atau bahkan ke negara lain," tutur dia.

Atas permintaan ini, Sarman khawatir jumlah investor di Indonesia akan turun dan mengancam iklim investasi. Dia pun meminta buruh mempertimbangkan permintaan mereka dan lebih memfokuskan memberikan produktivitas yang lebih baik.

Senada dengan Sarman, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia  (APINDO) Sofjan Wanandi menilai hal itu bakal terjadi karena upah yang diberikan negara lain  lebih murah dari Indonesia.

"Terutama padat karya akan lari dan dimanfaatkan oleh Kamboja, Vietnam, Myanmar, Bangladesh, habislah kita. Apalagi buruh kita sebagian besar hanya tingkat SD saja," ujarnya.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar menilai buruh tidak bisa memaksakan  kehendak untuk meminta kenaikan UMP Rp 3,7 juta. Menurut dia, penentuan besaran upah harus memperhatian dua perspektif yaitu patokan survei, inflasi, produktivitas dan  keputusan dewan pengupahan. Perspektif kedua adalah keterampilan dan kompetensi.

"Kalau sarjana Rp 3,7 juta itu terlalu rendah juga, kalau kompetensinya tinggi," katanya.

Ekonom PT Bank Danamon Tbk, Anton Gunawan menilai tuntutan kenaikan upah yang tinggi justru akan menjadi bumerang bagi buruh sendiri karena sejumlah perusahaan melakukan efisiensi termasuk PHK. Dampak lain dari kenaikan upah, tambah dia, bakal mengerek laju inflasi.



Mogok nasional jelang ketok palu

Tuntutan buruh memang tak hanya isapan jempol belaka. Demi mencapai tujuannya, sebanyak dua juta orang buruh akan mengikuti aksi mogok nasional pada 31 Oktober-1 November 2013. Buruh ini berasal dari 150 kabupaten kota dan 40 kawasan industri.

Buruh menuntut lima hal, salah satunya kenaikan upah minimal sebanyak 50%.  Aksi ini digelar menjelang ketok palu penentuan UMP oleh pemerintah daerah.

Menanggapi aksi tersebut itu, Menakertrans Muhaimin Iskandar mempersilahkan bagi kalangan buruh untuk berdemo, karena itu merupakan hak dari sebuah karyawan dalam memperjuangkan nasibnya.

"Tentu buruh demonstrasi itu hak, buruh mogok itu juga hak, tapi ada aturannya," ungkap Muhaimin.

Aturan yang dimaksudnya adalah jangan sampai buruh menciptakan anarkisme dan jangan sampai aksi mogok itu berlarut-larut sehingga mengakibatkan kerugian negara.

Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurti sebelumnya mengungkapkan, permasalahan buruh dan ketidakpastian sistem hukum di Indonesia bisa mengakibatkan para investor enggan investasi di Indonesia.

"Kalau dilihat dari sudut perdagangan pengusaha melakukan respons paling tidak yang saya tahu 42 industri sudah pindah keluar dari Jabotabek, ada yang (pindah) di Indonesia ada yang di luar negeri, hal ini juga yang harus dipertimbangkan oleh teman-teman (buruh) karena memang yang penting kepastian berusaha bagi pelaku usaha harus kita jaga bersama,"  terang dia.

KADIN DKI Jakarta melaporkan sebanyak 97 perusahaan Kawasan Berikat Nusantara (KBN) harus menelan kerugian sekitar Rp 48,5 miliar akibat aksi demo dan mogok yang dilakukan buruh pada 31 Oktober lalu.

Aksi mogok buruh ini juga menjadi sorotan dunia.  Sejumlah media internasional turut menyoroti pergolakan demo buruh yang terjadi di Tanah Air.
Diberitakan VOA News, tujuan demo sebenarnya cukup sederhana, para buruh hanya ingin ikut menikmati pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tetap bertahan hidup. Kenaikan upah tersebut dianggap sebagai salah satu cara yang bisa diupayakan pemerintah untuk menyejahterahkan buruh.

Sementara melansir laman World Bulletin, buruh mengaku terdapat banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan pemerintah tahun ini. Para pimpinan serikat buruh merasa harus melindungi anggotanya dan mengantisipasi lebih banyak masalah yang muncul di industri-industri seperti garmen atau tekstil.




Diketok Rp 2,4 juta, buruh mengamuk

Memanasnya aksi buruh tidak membuat Jokowi gentar. Pada 1 November 2013, Kemenakertrans mencatat sebanyak 10 provinsi telah menetapkan UMP 2014, salah satunya UMP DKI Jakarta sebesar Rp 2,442 juta. Angka ini sangat jauh dari keinginan buruh.

Anggota Dewan Pengupahan, Sarman Simanjorang mengungkapkan, penetapan Rp 2,4 juta merupakan angka yang dipilih Jokowi.  Menurutnya, ada dua angka yang menjadi usulan UMP 2014 dalam rapat Dewan Pengupahan. Usulan pertama, dari pengusaha yang ingin UMP hanya naik menjadi Rp 2,3 juta dan usulan dari pemerintah yakni UMP bisa naik menjadi Rp 2,4 juta pada 2014.

Angka ini berpatokan dengan prediksi besaran inflasi pada tahun depan mencapai 6,15%. "Maka pemerintah kalikan besaran inflasi tersebut dengan angka KHL maka muncul Rp 2,4 juta," tutur dia.

Penetapan UMP sangat mengecewakan buruh. Ketua Forum Buruh DKI Jakarta Muhammad Toha mengaku kecewa dengan keputusan Jokowi.

"Jokowi tidak memperhatikan kesejahteraan buruh dan lebih memperhatikan topeng monyet," ujar dia.

Toha menegaskan, kenaikan UMP yang ditetapkan Jokowi ini tidak masuk akal karena tidak mempertimbangkan peningkatan harga kebutuhan pokok akibat kenaikan BBM.

Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, keputusan Jokowi tentang UMP tersebut telah mengembalikan rezim upah murah karena beberapa daerah lainnya akan berdampak negatif dengan keputusan ini.

Dia menyatakan nilai UMP Rp 2,4 juta sangat tidak layak untuk hidup di Jakarta, yaitu Rp 600 ribu untuk sewa rumah, Rp 500 ribu untuk ongkos transportasi, Rp 990 ribu untuk makan sebulan.

"Makan sehari di Warteg, Rp 9.000 untuk pagi, Rp 12 ribu untuk siang, dan Rp 12 ribu untuk malam. Jadi dari upah minimum hanya menyisakan Rp 300 ribu perbulan, apakah ini layak hidup di Jakarta?" ungkap Iqbal.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menilai penetapan UMP ini merupakan angka yang tepat. Karena angka yang diputuskan diyakini menjadi jalan tengah dari perdebatan soal besaran kenaikan UMP ini.

"Jokowi kali ini menempatkan diri sebagai negarawan, karena dia berusaha seadil mungkin ke kiri dan ke kanannya, karena kedua-duanya buruh dan pengusaha ini sama-sama warga DKI, dia berusaha untuk adil, karena mencari jalan tengah itu tidak mudah," ujar dia.



Tolak UMP, Buruh Mogok lagi




Para buruh mengaku kecewa dengan keputusan Jokowi menetapkan UMP 2014 sebesar Rp 2,44 juta, atau lebih rendah dari tuntutan buruh Rp 3,7 juta. Puluhan ribuan buruh memutuskan terus mogok dan berdemo sampai tuntutan mereka didengar.

Presiden KSPI Said Iqbal mengungkapkan, masih banyak buruh yang bersedia menerima upah sebesar Rp 1 juta per bulan. Namun kebijakan tersebut akan menyengsarakan kehidupan buruh karena jauh dari kata layak.

"Buruh mau saja kalau ada yang gaji Rp 1 juta supaya dia tetap kerja. Tapi ini sangat memiskinkan kehidupan buruh karena dia harus tinggal di kolong jembatan," ungkap dia saat Konferensi Pers Penolakan UMP 2014 pada 4 November 2013.

Ironisnya, menurut Said, dengan upah sebesar itu, kehidupan buruh semakin sengsara lantaran harus mengatur jatah makan setiap hari. "Pagi makan mie instan, siang makan mie ayam, lalu malam baru makan nasi. Itupun nasi goreng cuma tambah kecap. Kalau tidak begitu, dia tidak bisa kirim uang ke kampung," ujarnya.

Namun karena tidak ada respons, buruh pun siap menurunkan tuntutan UMP Jakarta dari Rp 3,7 juta menjadi Rp 3,2 juta pada 2014. Jika tuntutan tersebut dipenuhi Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, kalangan buruh berjanji akan berhenti melakukan unjuk rasa di depan Kantor Gubernur DKI Jakarta.

"Saya minta Jokowi dan Ahok jangan arogan, jangan malu untuk merevisi upah yang diinginkan buruh mencapai sebesar Rp 3 juta yang berbasiskan KHL ditambah inflasi, pertumbuhan ekonomi dan lainnya," ujar Said.

Sementara itu, Menakertrans Muhaimin Iskandar menegaskan penetapan UMP DKI Jakarta 2014 adalah keputusan final dan tak dapat diganggu gugat. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa meminta para buruh yang masih melakukan tuntutan kenaikan UMP untuk menahan diri.

Tuntutan tidak mendapat respons, buruh pun menggelar aksi mogok besar-besaran pada pekan ketiga November 2013. Mogok nasional akan dilakukan di beberapa daerah-daerah besar di Indonesia.  Namun rencana ini batal.



Berakhir di PTUN


Tak hanya melakukan aksi demonstrasi, para buruh pun mengajukan tuntutan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas keputusan Gubernur yang akrab disapa Jokowi tersebut. "Ini bukti Jokowi tidak pro rakyat kecil dan perhatian kepada kesejahteraan. Kami akan gugat Jokowi ke PTUN dengan kebijakannya tersebut," ujar Said.

Dia mempertanyakan keberpihakan Jokowi kepada kaum buruh. Angka UMP sebesar Rp 2,4 juta dinilai tidak layak bagi biaya hidup di ibu kota ini. "Bandingkan saja dengan Filipina dan Thailand yang gajinya di atas Rp 2,5 juta. Bahkan UMP ini jauh sekali jika dibandingkan dengan Jepang maupun Hong Kong misalnya," tegas dia.

Said menuturkan kecewa dengan kebijakan Jokowi. Para buruh dipastikan akan tetap menolak penetapan UMP yang dinilai cacat hukum. Penetapan UMP tak dihadiri perwakilan buruh dan dinilai tidak bisa dikatakan tak sah.  Padahal sesuai aturan, penetapan harus berdasarkan keputusan instansi terkait seperti pengusaha, buruh dan pemerintah.

Kalangan pengusaha mempersilakan para buruh untuk mengajukan keberatan bahkan gugatan hukum menyangkut penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2014 sebesar Rp 2,4 juta per bulan. Langkah ini dianggap lebih baik dibandingkan aksi ancam-mengancam.

"Silahkan saja, dulu kami juga pernah ke PTUN. Asal pakai cara hukum harus didukung tapi nanti mana yang benar dan salah biar hukum yang tentukan. Bukan dengan ancam mengancam, itu tidak baik," ujar Ketua Umum APINDO Sofjan Wanandi

Kalangan pengusaha berjanji tidak akan mengancam para buruh dengan berbagai tindakan. Hanya saja, Sofjan bilang, pihaknya akan menjalani proses hukum sesuai ketentuan yang berlaku di Indonesia. "Kami akan memfasilitasi semua perusahaan yang memang ingin melakukan tindakan hukum," ujar dia.

Diakui Sofjan, para pengusaha selama ini harus menanggung kerugian hingga ratusan miliar setiap kali para pekerja menggelar aksi demonstrasi ataupun mogok massal.

"Semua sudah melapor kerugian karena produksi, penjualan yang diklaim secara lebih detail. Minggu ini kami akan selesaikan (laporannya)," tuturnya. (Ndw)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya