Berperan sebagai eksportir mineral terbesar di dunia, Indonesia telah menjadi pemasok penting kebutuhan komoditas tersebut di beberapa negara. Tentu saja, larangan ekspor mineral mentah yang diterapkan Indonesia mulai Minggu, 12 Januari 2014 langsung merebut perhatian dunia.
Dilaporkan The Australian, Senin (13/2/2014) perusahaan jasa keuangan dan perbankan Pransis, BNP Paribas, menilai rincian dan penerapan kebijakan Undang-undang (UU) Mineral dan Batu Bara (Minerba) tersebut masih tidak jelas hingga saat ini. Maklum, diberitakan Reuters, pemerintah Indonesia masih mengizinkan raksasa pertambangan Amerika Serikat (AS), Freeport McMoRan Copper dan Newmot untuk mengekspor tembaga bernilai miliaran dolar AS.
Kondisi tersebut jelas saja menimbulkan kebingungan tersendiri tentang penerapan UU yang berdampak pada larangan ekspor mineral mentah tersebut. Sejauh ini, sejumlah negara memang memaklumi keinginan Indonesia untuk memfokuskan pengolahan mineral mentah di dalam negeri.
Tetapi niat pemerintah Indonesia itu justru membuat bingung beberapa produsen mineral olahan. Pasalnya, hingga penerapan larangan ekspor diberlakukan, Indonesia belum membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) bauksit atau nikel baru untuk mengolah mineral yang sudah ditambang.
Lebih dari 100 perusahaan tambang terancam mengurangi kapasitas atau menutupi operasinya karena ketidakpastian pemberlakuan regulasi pengiriman mineral di Tanah Air seperti dikutip dari CNBC.
Sementara itu, dikabarkan Sydney Morning Herald, produsen alumunium terbesar ketiga di dunia, Alcoa mulai mencari sumber daya baru untuk memenuhi kebutuhan bauksitnya. Hal ini mengingat bauksit merupakan bahan baku utama produksi alumunium.
Produksi smelter alumuniumnya di China mulai terancam akibat pembatasan ekspor mineral mentah dari Indonesia. Sementara itu, salah satu smelternya di Australia juga tercancam ditutup akibat proyeksi kekurangan pasokan dalam jangka panjang.
Tak hanya asing, menurut BBC News, perekonomian Indonesia juga berisiko mengalami kemerosotan pendapatan dari aktivitas ekspor mineral yang selama ini bernilai miliaran dolar. Selain itu, sebanyak 800 ribu pegawai tambang terancam di-PHK (Putus Hubungan Kerja) akibat pemberlakukan regulasi ekspor mineral yang baru.
Namun sejumlah produsen tambang bauksit di negara lain akan mengeruk keuntungan dari peluang besar yang disediakan Indonesia akibat pembatasan ekspornya. Para produsen mineral olahan akan mulai mencari pasokan dari negara-negara lain selain Indonesia. (Sis/Ndw)
Baca juga:
Bea Keluar Ekspor Mineral Mentah Naik Bertahap Jadi 60%
Wamendag: Rupiah Menguat Usai RI Stop Ekspor Mineral
Begini Syarat Ekspor Mineral dari Kemendag
ESDM: Freeport dan Newmont Masih Boleh Ekspor Mineral
Cegah PHK di Sektor Tambang, Pemerintah Terbitkan PP Minerba
RI Rela Duit Melayang daripada Bijih Mineral Diekspor Gila-gilaan
Harga Nikel dan Tembaga Naik Jelang Larangan Ekspor Mineral
Mulai 12 Januari Pukul 00.00 WIB, Bea Cukai Cegah Ekspor Mineral
[VIDEO] Larangan Ekspor Mineral, Lebih Banyak Untung atau Rugi?
Dilaporkan The Australian, Senin (13/2/2014) perusahaan jasa keuangan dan perbankan Pransis, BNP Paribas, menilai rincian dan penerapan kebijakan Undang-undang (UU) Mineral dan Batu Bara (Minerba) tersebut masih tidak jelas hingga saat ini. Maklum, diberitakan Reuters, pemerintah Indonesia masih mengizinkan raksasa pertambangan Amerika Serikat (AS), Freeport McMoRan Copper dan Newmot untuk mengekspor tembaga bernilai miliaran dolar AS.
Kondisi tersebut jelas saja menimbulkan kebingungan tersendiri tentang penerapan UU yang berdampak pada larangan ekspor mineral mentah tersebut. Sejauh ini, sejumlah negara memang memaklumi keinginan Indonesia untuk memfokuskan pengolahan mineral mentah di dalam negeri.
Tetapi niat pemerintah Indonesia itu justru membuat bingung beberapa produsen mineral olahan. Pasalnya, hingga penerapan larangan ekspor diberlakukan, Indonesia belum membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) bauksit atau nikel baru untuk mengolah mineral yang sudah ditambang.
Lebih dari 100 perusahaan tambang terancam mengurangi kapasitas atau menutupi operasinya karena ketidakpastian pemberlakuan regulasi pengiriman mineral di Tanah Air seperti dikutip dari CNBC.
Sementara itu, dikabarkan Sydney Morning Herald, produsen alumunium terbesar ketiga di dunia, Alcoa mulai mencari sumber daya baru untuk memenuhi kebutuhan bauksitnya. Hal ini mengingat bauksit merupakan bahan baku utama produksi alumunium.
Produksi smelter alumuniumnya di China mulai terancam akibat pembatasan ekspor mineral mentah dari Indonesia. Sementara itu, salah satu smelternya di Australia juga tercancam ditutup akibat proyeksi kekurangan pasokan dalam jangka panjang.
Tak hanya asing, menurut BBC News, perekonomian Indonesia juga berisiko mengalami kemerosotan pendapatan dari aktivitas ekspor mineral yang selama ini bernilai miliaran dolar. Selain itu, sebanyak 800 ribu pegawai tambang terancam di-PHK (Putus Hubungan Kerja) akibat pemberlakukan regulasi ekspor mineral yang baru.
Namun sejumlah produsen tambang bauksit di negara lain akan mengeruk keuntungan dari peluang besar yang disediakan Indonesia akibat pembatasan ekspornya. Para produsen mineral olahan akan mulai mencari pasokan dari negara-negara lain selain Indonesia. (Sis/Ndw)
Baca juga:
Bea Keluar Ekspor Mineral Mentah Naik Bertahap Jadi 60%
Wamendag: Rupiah Menguat Usai RI Stop Ekspor Mineral
Begini Syarat Ekspor Mineral dari Kemendag
ESDM: Freeport dan Newmont Masih Boleh Ekspor Mineral
Cegah PHK di Sektor Tambang, Pemerintah Terbitkan PP Minerba
RI Rela Duit Melayang daripada Bijih Mineral Diekspor Gila-gilaan
Harga Nikel dan Tembaga Naik Jelang Larangan Ekspor Mineral
Mulai 12 Januari Pukul 00.00 WIB, Bea Cukai Cegah Ekspor Mineral
[VIDEO] Larangan Ekspor Mineral, Lebih Banyak Untung atau Rugi?