Ribuan hektare (ha) lahan di wilayah Timur Indonesia masih dikuasai oleh berbagai suku. Tak heran bila seseorang harus berhadapan dengan perundingan adat sebelum membeli tanah di daerah tersebut.
Bupati Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT) Yoaki Lopez mengungkapkan, masyarakat tertinggal yang sebagian besar merupakan pengungsi dari daerah konflik sangat membutuhkan tempat tinggal. Selama ini, para penduduk hanya mendiami sebuah tenda selama belasan tahun.
"Mereka biasanya tinggal sudah sekitar 15 tahun bahkan lebih dan tentu membutuhkan rumah layak huni di atas lahan yang aman. Artinya bersertifikat dan resmi," tuturnya di Jakarta, Rabu (15/1/2014).
Yoaki menyebut, pemerintah telah membangun puluhan rumah di wilayah timur yang kerap menjadi base camp para pengungsi eks Timor-timur. Sayangnya, rumah-rumah tersebut harus rela dilepas karena permasalahan lahan.
"Puluhan rumah sudah dikerjakan dengan cantik, bagus, tapi akhirnya mubazir karena tanah diklaim oleh adat setempat. Artinya diambil lagi oleh pemilik, biasanya anak-anak kepala suku yang sudah menyerahkan tanah beberapa tahun lalu," tukasnya.
Sayang, ketika ditanya mengenai jumlah rumah yang dibangun untuk warga pengungsi serta anggarannya, Yoaki tak memiliki data pasti.
Namun berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), jumlah pengungsi eks Timor Timur saat ini mencapai 24.524 kepala keluarga. Sebanyak 4.762 kepala keluarga diantaranya masih tinggal di kampung pengungsian.
Bappenas juga mencatat, sejumlah konflik etnis dan sosial yang merebak di Indonesia antara 1998 dan 2000 telah mengakibatkan mengungsinya sekitar 1,3 juta orang di Maluku, Sulawesi Tengah, Kalimantan, Timor Barat dan Aceh.
Untuk memenuhi kebutuhan eks-pengungsi Timor Timur ini, pemerintah Indonesia dan Uni Eropa (UE) melalui pemerintah Kabupaten Kupang dan Belu, NTT menggandeng UE dan UN Habitat dalam program penyediaan tanah, rumah dan infrastruktur untuk para pengungsi.
"UE telah menggelontorkan dana sebesar 1 juta Euro atau sekitar Rp 15 miliar untuk program pendampingan dan pengadaan tanah, rumah, dan infrastruktur selama 36 bulan ini. Sekarang saatnya pemda setempat yang mengatasi mantan pengungsi ini secara jauh lebih baik karena pemda memiliki kemampuan yang sama dengan UE," harap Yoaki.(Fik/Shd)
Baca Juga
Beli Tanah di Kupang Cuma Rp 2 Juta per 300 Meter
Bupati Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT) Yoaki Lopez mengungkapkan, masyarakat tertinggal yang sebagian besar merupakan pengungsi dari daerah konflik sangat membutuhkan tempat tinggal. Selama ini, para penduduk hanya mendiami sebuah tenda selama belasan tahun.
"Mereka biasanya tinggal sudah sekitar 15 tahun bahkan lebih dan tentu membutuhkan rumah layak huni di atas lahan yang aman. Artinya bersertifikat dan resmi," tuturnya di Jakarta, Rabu (15/1/2014).
Yoaki menyebut, pemerintah telah membangun puluhan rumah di wilayah timur yang kerap menjadi base camp para pengungsi eks Timor-timur. Sayangnya, rumah-rumah tersebut harus rela dilepas karena permasalahan lahan.
"Puluhan rumah sudah dikerjakan dengan cantik, bagus, tapi akhirnya mubazir karena tanah diklaim oleh adat setempat. Artinya diambil lagi oleh pemilik, biasanya anak-anak kepala suku yang sudah menyerahkan tanah beberapa tahun lalu," tukasnya.
Sayang, ketika ditanya mengenai jumlah rumah yang dibangun untuk warga pengungsi serta anggarannya, Yoaki tak memiliki data pasti.
Namun berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), jumlah pengungsi eks Timor Timur saat ini mencapai 24.524 kepala keluarga. Sebanyak 4.762 kepala keluarga diantaranya masih tinggal di kampung pengungsian.
Bappenas juga mencatat, sejumlah konflik etnis dan sosial yang merebak di Indonesia antara 1998 dan 2000 telah mengakibatkan mengungsinya sekitar 1,3 juta orang di Maluku, Sulawesi Tengah, Kalimantan, Timor Barat dan Aceh.
Untuk memenuhi kebutuhan eks-pengungsi Timor Timur ini, pemerintah Indonesia dan Uni Eropa (UE) melalui pemerintah Kabupaten Kupang dan Belu, NTT menggandeng UE dan UN Habitat dalam program penyediaan tanah, rumah dan infrastruktur untuk para pengungsi.
"UE telah menggelontorkan dana sebesar 1 juta Euro atau sekitar Rp 15 miliar untuk program pendampingan dan pengadaan tanah, rumah, dan infrastruktur selama 36 bulan ini. Sekarang saatnya pemda setempat yang mengatasi mantan pengungsi ini secara jauh lebih baik karena pemda memiliki kemampuan yang sama dengan UE," harap Yoaki.(Fik/Shd)
Baca Juga
Beli Tanah di Kupang Cuma Rp 2 Juta per 300 Meter
13,5 Juta Rumah Murah Terbangun dalam 20 Tahun Mendatang
Banyak Rumah Dibeli Tapi Tak Berpenghuni
Advertisement