Asik Berdagang Tisu, Ferik Memilih Tidak Sekolah

Apa yang menyebabkan anak-anak jalanan di Margonda Depok tidak sekolah?

oleh Liputan6 diperbarui 19 Jan 2014, 08:25 WIB
Citizen6, Depok: Siapa yang tak iba jika melihat anak di bawah umur berkeliaran bebas di tepi-tepi jalan menadahkan kedua tangan atau berkuli panggul demi mengumpulkan keping-keping uang yang tak seberapa.

Mereka yang seharusnya berada di bangku sekolah malah harus bersusah payah untuk turun ke jalan merasakan kerasnya pinggiran kota.

Ini merupakan salah satu bukti masih minimnya tingkat pendidikan di Indonesia karena masyarakat masih banyak melihat anak-anak jalanan yang mencari uang bukan pendidikan. Bahkan, ini sudah menjadi hal biasa yang sering masyarakat temukan. Bagitu juga di Kota Depok, kerap kali anak-anak masih berkeliaran meminta-minta atau berjualan di jam-jam yang seharusnya mereka berada di sekolah.

Siapakah yang harus disalahkan? pemerintah atau orangtua? Tingkat kemiskinan menjadi salah satu faktor utama memang. Tentu ini menjadi PR untuk pemerintah agar memperhatikan serta menangani tingkat pendidikan yang masih lemah di kota depok.

Jika pemerintah sudah membuat program pendidikan gratis selama 9 tahun, lalu, adakah faktor lain yang menyebabkan mereka enggan untuk bersekolah?

Di wilayah Jalan Raya Margonda-Depok misalnya. Tak sedikit jumlah anak-anak yang mengemis di pinggir jalan. Ada yang jadi kuli panggul pasar, ada juga yang jadi pemulung atau berjualan asongan dan tisu.

Kira-kira, apa yang menyebabkan mereka tidak sekolah?

Salah satu pedagang tisu di Stasiun Pondok Cina, Ferik (8) mengatakan,"Dulu aku sempat sekolah kak, tapi berhenti karena aku lebih memilih jualan tisu. Soalnya penghasilanya lumayan."

Ferik juga berkata, sekolah bukannya tidak menyenangkan, melainkan faktor ekonomi yang memaksakanya harus berjualan tisu dari tempat satu ke tempat lain. Selain itu, menyerap pelajaran yang diajarkan juga menjadi kesulitan untuknya, hingga dua kali berturut-turut ia tidak naik kelas di sekolahnya, yaitu Sekolah Master Depok.

"Ibu nggak ada ayah juga. Aku tinggal sama bocah-bocah penjual tisu lain di terminal Depok," ungkap bocah kecil bermata sipit ini.

Kesendirian dan hidup bersama di jalanan sudah menjadi takdir penggemar pecel lele ini, namun apakah tidak ada tindakan pemerintah terhadap kondisi ini?Dimanakah rasa empati pemerintah terhadap kondisi tersebut. Bisa saja Ferik bukanlah satu-satunya anak kecil yang berjuang di pinggiran Kota Depok.

"Enakan jualan tisu kak, satu hari aku bisa dapat Rp 30-Rp 50 ribu dari bos. Tapi aku setoran dulu sama si bos, jadi kalau habis, aku di kasih Rp 50 ribu. Kalau nggak habis cuma Rp 30 ribu aja," lanjut Ferik.

Adib, salah satu pembeli tisu yang berada disekitar Depok, juga menuturkan rasa ibanya kepada anak-anak yang sering berjualan.

"Kasihan aja kalau melihat anak kecil jualan, apalagi kalau dagangannya masih banyak. Karena tidak tega, jadi saya suka membeli kalau ada anak-anak yang jualan atau mengamen. Terkadang saya jadi suka ingat adik saya sendiri," katanya.
 
"Saya sih berharap semoga pemerintah dapat melihat hal ini. Anak seperti ini seharusnya di sekolahkan atau setidaknya diberdayakan sehingga menjadi layak di masyarakat," tambah Adib.

Semoga hati masyarakat dan pemerintah bisa terbuka dan peduli juga terhadap anak-anak yang bekerja dan masih di bawah umur. (mar)

Penulis
Ahmad Shalahuddin Falah
Depok, saladinfaxxx@gmail.com

Baca juga:
Derita Penumpang Commuter Line di Jakarta
UPS Terpadu di UI Depok Bikin Bau
Polemik Gas Alam di Depok

Disclaimer:

Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.

Anda juga bisa mengirimkan link postingan terbaru blog Anda atau artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya