Bencana datang bertubi-tubi di negeri ini seolah tak berjeda. Mulai dari erupsi Gunung Sinabung, banjir di Ibukota, banjir bandang Manado, banjir di wilayah Pantura dan terakhir gempa bumi di Kebumen.
Seperti dalam segmen Kopi Pagi di tayangan Liputan 6 Pagi SCTV, Minggu (26/1/2014), berdasarkan data yang dikeluarkan oleh badan PBB untuk strategi internasional pengurangan resiko bencana, Indonesia menjadi negara yang paling rawan terhadap bencana di dunia.
Tahun 2014, menjadi ujian besar bagi negri ini, karena bencana datang silih berganti tak mengenal lelah. Satu per satu bencana menyambangi berbagai daerah di Indonesia.
Sejak September 2013 lalu, erupsi Gunung Sinabung di Karo, Sumatra Utara telah meluluhlantakan ladang, ternak dan rumah warga. Ribuan pengungsi berbulan-bulan harus tinggal di pengungsian. Kerugian akibat erupsi Sinabung mencapai Rp 1 triliun.
Di pertengahan Januari, Ibukota diterjang banjir kiriman. Sejumlah wilayah langganan banjir kembali kebanjiran. Ribuan warga terpaksa harus dievakuasi. Tim penyelamat bekerja keras siang hingga malam membujuk warga yang bersikeras tak mau dievakuasi.
Banjir tahun ini telah menggenangi 564 rukun tetangga di 30 kecamatan di DKI Jakarta dengan ketinggian yang bervariasi. Dan 12 orang meninggal dunia akibat banjir tersebut.
Belum usai banjir di Ibukota, banjir bandang di sertai longsor melanda Kota Manado dan sekitarnya. Dasyatnya banjir telah menyapu bersih rumah warga.
Curah hujan yang tinggi di bulan Januari ini juga telah melumpuhkan jalur vital pantura. Banjir di Kabupaten Subang, Jawa Barat menyebabkan jalur utama Pantura terputus mulai dari Kecamatan Patokbeusi, Ciasem, Sukasari, Pamanukan hingga Pusakajaya.
Banjir dan tanah longsor juga melanda wilayah Jawa Tengah. Seperti Kota dan Kabupaten Pekalongan, Kota Semarang, Kabupaten Kudus serta Kabupaten Pati.
Yang menyedihkan, bencana nampaknya belum berakhir. Di penghujung minggu ini, gempa datang dan merubuhkan sejumlah wilayah di Kebumen dan sekitarnya.
Silih bergantinya bencana ini, membuat masyarakat mulai bertanya-tanya apakah bangsa ini sudah memiliki kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.
Seperti kata pepatah, badai pasti berlalu. Bencana ini telah berlalu, namun penanganan pasca bencana nampaknya belum sepenuhnya berjalan dengan baik.
Nasib ratusan ribu pengungsi korban bencana alam, kian merana. Tinggal ditenda-tenda darurat dengan alas tidur seadanya. Sanitasi minim air bersih dan harus berdesak-desakan dengan pengungsi lainnya.
Bantuan logistik dianggap tak merata, dan lamban. Beberapa pengungsi bahkan harus berebut jatah makanan dan pakaian. Sebagian, ada pula yang terpaksa mengemis di jalanan karena telah kehilangan harta bendanya dan mata pencahariannya. Semua demi bertahan hidup.
Pemerintah pun, kini harus turut memikirkan bagaimana merehabilitasi para korban bencana. Tak sekedar kunjungan formalitas namun mereka butuh solusi konkret bagaimana melanjutkan hidup pasca bencana yang melanda.
Berikut ini komentar pilihan warga dalam segmen Kopi Pagi yang ditayangkan Liputan 6 Pagi SCTV, Minggu (26/1/2014). (Adm/Tnt)
Lihat juga:
Seperti dalam segmen Kopi Pagi di tayangan Liputan 6 Pagi SCTV, Minggu (26/1/2014), berdasarkan data yang dikeluarkan oleh badan PBB untuk strategi internasional pengurangan resiko bencana, Indonesia menjadi negara yang paling rawan terhadap bencana di dunia.
Tahun 2014, menjadi ujian besar bagi negri ini, karena bencana datang silih berganti tak mengenal lelah. Satu per satu bencana menyambangi berbagai daerah di Indonesia.
Sejak September 2013 lalu, erupsi Gunung Sinabung di Karo, Sumatra Utara telah meluluhlantakan ladang, ternak dan rumah warga. Ribuan pengungsi berbulan-bulan harus tinggal di pengungsian. Kerugian akibat erupsi Sinabung mencapai Rp 1 triliun.
Di pertengahan Januari, Ibukota diterjang banjir kiriman. Sejumlah wilayah langganan banjir kembali kebanjiran. Ribuan warga terpaksa harus dievakuasi. Tim penyelamat bekerja keras siang hingga malam membujuk warga yang bersikeras tak mau dievakuasi.
Banjir tahun ini telah menggenangi 564 rukun tetangga di 30 kecamatan di DKI Jakarta dengan ketinggian yang bervariasi. Dan 12 orang meninggal dunia akibat banjir tersebut.
Belum usai banjir di Ibukota, banjir bandang di sertai longsor melanda Kota Manado dan sekitarnya. Dasyatnya banjir telah menyapu bersih rumah warga.
Curah hujan yang tinggi di bulan Januari ini juga telah melumpuhkan jalur vital pantura. Banjir di Kabupaten Subang, Jawa Barat menyebabkan jalur utama Pantura terputus mulai dari Kecamatan Patokbeusi, Ciasem, Sukasari, Pamanukan hingga Pusakajaya.
Banjir dan tanah longsor juga melanda wilayah Jawa Tengah. Seperti Kota dan Kabupaten Pekalongan, Kota Semarang, Kabupaten Kudus serta Kabupaten Pati.
Yang menyedihkan, bencana nampaknya belum berakhir. Di penghujung minggu ini, gempa datang dan merubuhkan sejumlah wilayah di Kebumen dan sekitarnya.
Silih bergantinya bencana ini, membuat masyarakat mulai bertanya-tanya apakah bangsa ini sudah memiliki kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.
Seperti kata pepatah, badai pasti berlalu. Bencana ini telah berlalu, namun penanganan pasca bencana nampaknya belum sepenuhnya berjalan dengan baik.
Nasib ratusan ribu pengungsi korban bencana alam, kian merana. Tinggal ditenda-tenda darurat dengan alas tidur seadanya. Sanitasi minim air bersih dan harus berdesak-desakan dengan pengungsi lainnya.
Bantuan logistik dianggap tak merata, dan lamban. Beberapa pengungsi bahkan harus berebut jatah makanan dan pakaian. Sebagian, ada pula yang terpaksa mengemis di jalanan karena telah kehilangan harta bendanya dan mata pencahariannya. Semua demi bertahan hidup.
Pemerintah pun, kini harus turut memikirkan bagaimana merehabilitasi para korban bencana. Tak sekedar kunjungan formalitas namun mereka butuh solusi konkret bagaimana melanjutkan hidup pasca bencana yang melanda.
Berikut ini komentar pilihan warga dalam segmen Kopi Pagi yang ditayangkan Liputan 6 Pagi SCTV, Minggu (26/1/2014). (Adm/Tnt)
Lihat juga:
[VIDEO] Kopi Pagi: Teroris Ciputat di Mata Warga
[VIDEO] Tragedi Bintaro II, Apa Tanggapan Warga?
[VIDEO] Ngeri Penembakan Halte Transjakarta? Ini Kata Penggunanya