Kaus dan stiker "Piye Kabare? Isih Penak Jamanku toh?" muncul di banyak tempat sejak beberapa bulan lalu. Hari ini, 6 tahun lalu, sosok yang muncul di sana, HM Soeharto, wafat dalam usia 86 tahun.
Pada 27 Januari 2008, pukul 13.10, Soeharto menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta. Sejak awal Januari 2008, ia kembali masuk rumah sakit. Wajah, kaki, tangan, dan bagian tubuh lainnya membengkak karena kelebihan cairan. Jantung almarhum tak mampu memompa darah dengan normal.
Soeharto untuk pertama kali dirawat di rumah sakit pada Juli 1999. Tim dokter kepresidenan di Rumah Sakit Pusat Pertamina menunjukkan ia mengalami stroke ringan. Setelah itu, ia keluar-masuk rumah sakit.
Jenderal Besar itu dimakamkan di Astana Giribangun di Desa Karang Bangun, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Sebelumnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memimpin upacara pemakaman dan membacakan apel persada.
Soeharto tak mungkin diabaikan dalam sejarah Indonesia. Sejak 1967 sampai 1998, ia menjadi orang nomor satu. Pada 21 Mei 1998, ia mengundurkan diri. Sebelumnya, Indonesia digoyang serangkaian demonstrasi mahasiswa. Pada 13 Mei-14 Mei, kerusuhan melanda Jakarta dan dan sejumlah kota lain.
Melihat kenyataan itu, pada 16 Mei 1998, 9 tokoh nasional menulis surat yang meminta Pak Harto mengundurkan diri sebagai presiden. "Surat itu diberi judul khusnul khotimah. Ada empat formula yang intinya minta Pak Harto mundur," kata Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, salah seorang dari 9 tokoh itu, dalam dialog dengan Liputan 6 SCTV, Senin 28 Januari 2008 [simak video: Cak Nun: Pak Harto Legowo Mundur]
Pada 18 Mei 1998, surat tersebut diserahkan kepada Soeharto melalui Menteri Sekretaris Negara saat itu Saadilah Mursyid. Soeharto menerima surat dengan baik dan menyatakan siap mundur. "Setelah Isya, Pak Harto menelepon saya dan Cak Nur (alm. Nurcholish Madjid) untuk menjamin keamanan peralihan kekuasaan jika dia turun," ujar Cak Nun.
Menurut Cak Nun, Soeharto dengan mudah menuruti permintaan sembilan tokoh karena dirinya menyadari rakyat Indonesia tak ingin Pak Harto menjabat presiden. Pak Harto, lanjut Cak Nun, sangat legowo atau menerima apa pun yang dikehendaki rakyat. "Pak Harto tak takut dengan mahasiswa atau militer. Pak Harto justru takut kemarahan rakyat yang out of control," tutur Cak Nun.
Pada 27 Januari 2008, pukul 13.10, Soeharto menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta. Sejak awal Januari 2008, ia kembali masuk rumah sakit. Wajah, kaki, tangan, dan bagian tubuh lainnya membengkak karena kelebihan cairan. Jantung almarhum tak mampu memompa darah dengan normal.
Soeharto untuk pertama kali dirawat di rumah sakit pada Juli 1999. Tim dokter kepresidenan di Rumah Sakit Pusat Pertamina menunjukkan ia mengalami stroke ringan. Setelah itu, ia keluar-masuk rumah sakit.
Jenderal Besar itu dimakamkan di Astana Giribangun di Desa Karang Bangun, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Sebelumnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memimpin upacara pemakaman dan membacakan apel persada.
Soeharto tak mungkin diabaikan dalam sejarah Indonesia. Sejak 1967 sampai 1998, ia menjadi orang nomor satu. Pada 21 Mei 1998, ia mengundurkan diri. Sebelumnya, Indonesia digoyang serangkaian demonstrasi mahasiswa. Pada 13 Mei-14 Mei, kerusuhan melanda Jakarta dan dan sejumlah kota lain.
Melihat kenyataan itu, pada 16 Mei 1998, 9 tokoh nasional menulis surat yang meminta Pak Harto mengundurkan diri sebagai presiden. "Surat itu diberi judul khusnul khotimah. Ada empat formula yang intinya minta Pak Harto mundur," kata Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, salah seorang dari 9 tokoh itu, dalam dialog dengan Liputan 6 SCTV, Senin 28 Januari 2008 [simak video: Cak Nun: Pak Harto Legowo Mundur]
Pada 18 Mei 1998, surat tersebut diserahkan kepada Soeharto melalui Menteri Sekretaris Negara saat itu Saadilah Mursyid. Soeharto menerima surat dengan baik dan menyatakan siap mundur. "Setelah Isya, Pak Harto menelepon saya dan Cak Nur (alm. Nurcholish Madjid) untuk menjamin keamanan peralihan kekuasaan jika dia turun," ujar Cak Nun.
Menurut Cak Nun, Soeharto dengan mudah menuruti permintaan sembilan tokoh karena dirinya menyadari rakyat Indonesia tak ingin Pak Harto menjabat presiden. Pak Harto, lanjut Cak Nun, sangat legowo atau menerima apa pun yang dikehendaki rakyat. "Pak Harto tak takut dengan mahasiswa atau militer. Pak Harto justru takut kemarahan rakyat yang out of control," tutur Cak Nun.
Semua itu dipicu dengan krisis ekonomi yang meruyak sejak 1997. Nilai rupiah turun drastis. Puluhan ribu karyawan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Tambahan lagi, para intelektual dan mahasiswa, meyakini korupsi telah begitu menggerogoti Indonesia di bawah Orde Baru.
Orde Baru juga ditegakkan bukan tanpa represi dan pembungkaman. Pada 1978, misalnya, sejumlah aktivis mahasiswa harus maasuk penjara karena meminta Soeharto turun. Lalu, pada Juni 1994, sejumlah media massa dibredel.
Padahal, Orde Baru membubuhkan banyak prestasi. Saat menerima kekuasaan, Soeharto dihadapkan pada kenyataan ekonomi yang rusak. Inflasi mencapai ratusan persen. Infrastruktur terbengkalai.
Dengan menggandeng para teknokrat, selama periode tahun 1967-1997, pertumbuhan ekonomi dapat digenjot dan dipertahankan rata-rata 7,2% per tahun. Ketahanan pangan sukses dipertahankan, bahkan menjadi negara swasembada beras.
Dari luar negeri, jasa Soeharto diingat mantan PM Malaysia Mahathir Mohammad. Dia mengatakan Soeharto adalah seorang pemimpin dan negarawan hebat. "Soeharto berjasa mengakhiri konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia," tutur Mahathir [baca: Mahathir: Pak Harto Pemimpin dan Negarawan Hebat].
Pada hari pemakaman, ribuan warga secara khusus meluangkan waktu tumpah ruah di sejumlah titik jalan protokol. Mereka menunggu keberangkatan jenazah mantan Presiden Soeharto [simak Video Ribuan Warga Jakarta Iringi Jenazah Pak Harto].
Warga Jakarta sejenak meninggalkan aktivitas di rumah, kantor, atau sekolah untuk memberikan penghormatan terakhir. (Yus)
Advertisement