Maut di Casablanca, Ironi Jalanan Ibukota

Faizal adalah contoh buruknya mental dan perilaku pengguna jalan di Ibukota. Kebiasaan melanggar malah memunculkan kebanggaan.

oleh Liputan6 diperbarui 29 Jan 2014, 00:05 WIB
Ironi seolah tak pernah habis di negeri ini. Apa yang awalnya menjadi harapan banyak orang, dalam waktu singkat bisa berubah menjadi sebaliknya. Keseringan pula, itu terjadi karena kesalahan manusianya, bukan karena suratan takdir yang tak bisa dicegah.

Itulah ironi yang menyertai kecelakaan di jalan layang non-tol (JLNT) Kampung Melayu-Tanah Abang. Seorang wanita yang tengah hamil 5 bulan tewas saat berboncengan dengan suaminya di JLNT tersebut. Tubuh wanita bernama Windawati itu terjun bebas dari ketinggian 15 meter setelah ditabrak sebuah mobil. Dia langsung tewas di tempat, sedangkan suaminya mengalami patah kaki dan tangan.

Sekilas terlihat seperti kecelakaan biasa. Tapi, ini kecelakaan yang berbeda jika dilihat dari proses dan peristiwa lain yang menyertai sebelumnya. Setidaknya, kejadian di jalan yang baru saja diresmikan ini kembali menegaskan bahwa masyarakat kita memang masih jauh dari disiplin dan taat aturan.

Ironi ini dimulai pada Minggu 26 Januari 2014. Pagi itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Gerakan Nasional Pelopor Keselamatan Berlalu Lintas. Bertempat di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, SBY mengajak seluruh masyarakat berpartisipasi mencegah atau mengurangi kecelakaan berlalu lintas.

Menurut SBY, kecelakaan lalu lintas telah menjadi perhatian Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB mengingat banyaknya korban jiwa. Karena itu dia mengajak seluruh rakyat Indonesia, komponen bangsa, dan masyarakat untuk sungguh-sungguh berupaya sekuat tenaga mencegah dan mengurangi kecelakaan lalu lintas.

"Semua turut bertanggung jawab, semua ikut bertugas, berupaya," tegas SBY.

Untuk mendukung gerakan ini, Kapolri Jenderal Sutarman ikut memaparkan angka-angka kecelakaan di Indonesia. Tujuannya tentu saja untuk memunculkan efek jera sehingga pengguna jalan raya tak lagi toleran terhadap perilaku yang melanggar aturan berlalu lintas.

"WHO telah mencanangkan dekade keselamatan di jalan raya mengingat tingginya angka kecelakaan jalan raya," ujar Sutarman.

Sebanyak 25 ribu lebih jiwa di Indonesia meninggal pada 2013, atau turun dibandingkan 2012 yang mencapai 27 ribu jiwa meninggal. Angka itu membuat rata-rata meninggal dunia akibat kecelakaan sekitar 80 orang per hari.

Sayang, hanya berjarak satu hari, imbauan Presiden itu tak lagi ampuh. Sebuah kecelakaan terjadi tak jauh dari lokasi Presiden mencanangkan Gerakan Nasional Pelopor Keselamatan Berlalu Lintas di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat. Sekitar 3 kilometer dari Bundaran HI, tepatnya di JLNT Kampung Melayu-Tanah Abang dekat Mal Ambasador.

Kejadian bermula sekitar pukul 22.00 WIB, Senin 28 Januari 2014. M Faizal Bustamin (28) berboncengan dengan istrinya Windawati (27) dari Kampung Melayu ke arah Tanah Abang. Faizal dan Windawati yang tengah hamil 5 bulan itu menaiki sepeda motor Honda Beat dengan nomor polisi B 3843 LA.

Saat melintas di depan ITC Ambassador, sepeda motor kemudian memutar arah dengan melawan arus. Tindakan nekat itu akhirnya berbuah bencana. Sepeda motor Faizal ditabrak mobil Honda City Nomor Polisi B 8542 RS yang dikemudikan Tomy Reymon (25).

Akibat insiden itu, Windawati terlempar dan jatuh dari jalan layang setinggi 15 meter itu. Tubuhnya melayang dan meninggal dunia saat terhempas di aspal jalan raya di depan Mal Ambasador. Sedangkan sang suami yang mengalami patah tangan dan kaki dibawa ke RS TNI AL Mintoharjo, Jakarta Pusat.

Kita layak berduka atas apa yang dialami oleh pasangan ini. Tapi, itu seharusnya tak membuat kita lupa atas bertumpuknya kesalahan yang dilakukan Faizal pada malam nahas itu. Dan inilah potret paling jelas pengguna jalan di Ibukota.

Pertama, Faizal telah mengambil jalur yang sebenarnya tidak diperuntukkan bagi sepeda motor. Di kedua sisi jalan, baik dari arah Kampung Melayu atau Tanah Abang, telah ada rambu yang melarang kendaraan roda 2 serta bajaj untuk lewat. Namun, itu tak diindahkan.

"Sudah ada (rambu) motor dilarang, karena Konstruksinya memang tidak mungkin buat motor. Jadi rambu saja ternyata tak cukup untuk masyarakat memahami," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Rikwanto.

Dia menegaskan, JLNT sepanjang Jalan Prof Satrio hingga depan Mal Kota Casablanca bukan untuk sepeda motor. JLNT itu dimaksudkan guna mengurai kemacetan yang sering terjadi di bawah jalur JLNT itu.

Kedua, saat berada di jalur yang tak semestinya itu, Faizal tetap nekat berbalik arah. Jangankan untuk dilakukan, sekadar dibayangkan saja sudah sangat mengerikan. Sebuah sepeda motor berbalik arah di jalan layang bebas hambatan, di mana kendaraan bisa dipacu dalam kecepatan tinggi, jelas sudah itu sebuah mimpi buruk.

Keputusan Faizal untuk memutar sepeda motornya dan berbalik arah dengan melawan arus juga menyimpan cerita tersendiri. Menurut rekan kerja korban bernama Deny Novirza, korban sebenarnya pula bersama-sama dengan temannya yang lain, dengan sama-sama mengendarai sepeda motor.

Saat berada di atas JLNT tersebut, Faizal mendapat kabar dari temannya yang telah dulu berbalik arah bahwa di ujung jalan arah Tanah Abang ada razia polisi. Kabar inilah yang kemudian membuat Faizal berbalik.

"Kalau cerita Faizal, setelah naik jalan layang itu dia melihat ada razia. Nah, temannya yang barengan pulang itu terkena razia tadi. Jadi Faizal putar balik. Dan terjadi kecelakaan itu," papar Deny di Jakarta, Selasa (28/1/2014).

Ini sekaligus membuktikan bahwa Faizal sebenarnya mengetahui kalau memasuki JLNT melanggar peraturan, sehingga dia tidak melanjutkan perjalanan dan berbalik arah karena tidak mau ditilang polisi.

Ketiga, korban mengendarai sepeda motor miliknya dengan kecepatan tinggi tempat yang tidak aman. Dengan kondisi motor yang dikendarai Faizal rusak parah, begitu juga mobil yang bertabrakan dalam keadaan ringsek, sehingga dapat dipastikan motor dan mobil melaju dalam kecepatan tinggi.

Yang lebih ironis lagi, Faizal tahu betul bagaimana berbahayanya mengendarai sepeda motor dalam kecepatan tinggi di JLNT. Kepada sang ayah, Faizal bercerita bahwa kondisi angin di JLNT sangat kencang. Sehingga bila tidak fokus, kendaraan akan sering sekali oleng.

Keempat, belakangan diketahui kalau korban tidak mengantongi surat izin mengemudi (SIM). "Pengendara motor tidak memiliki SIM," kata Kombes Rikwanto. Ini jelas-jelas fakta yang sangat mencengangkan.

Sebagai pemilik kendaraan yang setiap hari memboncengi istrinya pulang pergi dari tempat kerjaan, betapa beraninya Faizal lalu lalang di jalanan Ibukota tanpa kelengkapan surat-surat. Bisa dipastikan pula, sosok pengguna jalan di Ibukota yang seperti Faizal tidaklah sedikit.

Ironi ini belumlah berakhir. Meski telah memakan korban, JLNT Kampung Melayu-Tanah Abang tetap ramai diserbu pengendara motor. Akibatnya, ratusan motor ini terjaring razia petugas sepanjang Selasa ini.

Satu per satu sepeda motor yang nekat masuk ke JLNT Casablanca itu dihentikan polisi. Mereka langsung ditilang. Meski sudah ada tanda larangan masuk bagi kendaraan roda dua dan truk, sejumlah pengendara mengaku tak tahu ada rambu larangan melintas.

Bukan hanya sepeda motor, petugas juga menilang sopir bajaj yang nekat naik JLNT. Dalam razia ini, ratusan motor dari arah Kampung Melayu menuju Tanah Abang langsung diberi surat tilang.

Beberapa pengendara motor sempat ada yang mencoba memutar balik arah. Namun tindakan berbahaya ini tetap diganjar surat tilang dari petugas yang telah menunggu di bawah jalan layang.

Apa yang dialami Faizal ternyata tak kunjung membuat banyak pengguna jalan sadar akan berbahayanya berlalu lintas tanpa kesadaran tinggi untuk mematuhi peraturan. Wajar memang, karena di jalan aturan tak selalu tunduk pada yang tertulis. Kondisi di jalanan menunjukkan aturan lalu lintas bisa jadi tak mempan karena kalah dengan cara kompromi atau melawannya dengan sikap nekat para pengendara.

Faizal adalah contoh buruknya mental dan perilaku pengguna jalan di Ibukota. Tak peduli Presiden atau Kapolri bercerita tentang berbahayanya jalan raya yang digunakan oleh pengguna yang tak bertanggung jawab, justru kebiasaan melanggar itulah yang agaknya memunculkan kebanggaan.

Menerabas lampu merah, mengasapi polisi di persimpangan, tancap gas di jalur lambat, serta mengambil jalur berlawanan di saat macet sudah jadi pemandangan biasa di jalan-jalan Jakarta. Jadi, tak perlu heran kenapa Faizal berani 'berjudi' dengan maut di atas JLNT Kampung Melayu-Tanah Abang pada malam itu. (Ado)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya