Yap Thiam Hien, Pengacara Jujur Berkepala `Batu`

Jika kliennya miskin, ia tak segan menggratiskan. Minimal, mendiskon gede-gedean ongkos jasanya sebagai pengacara.

oleh Yus diperbarui 01 Feb 2014, 00:20 WIB

Yap Thiam Hien bukan pengacara biasa. Keturunan Tionghoa, tapi Yap menjadi pembela Rachmat Basoeki Soeropranoto, terdakwa kasus pemboman kantor Bank BCA di Jakarta, 1984. Lebih jauh, Basoeki dikenal sebagai sosok yang anti-dominasi Tionghoa dalam perekonomian Indonesia.

Rachmat awalnya menolak. Namun, para pengurus Lembaga Bantuan Hukum (LBH) berjuang untuk meyakinkan bahwa Yap memang dibutuhkan. Akhirnya Rachmat luluh.

Yap sendiri kerap ditanya: kenapa bersedia. Ia menjawab, seperti dikutip Daniel S. Lev yang menyusun biografinya, "Saya ingin memastikan bahwa orang yang telah mengakui perbuatannya diberikan hak penuh di pengadilan." Rachmat akhirnya divonis 17 tahun, sementara jaksa menuntut hukuman mati.

Puluhan tahun sebelumnya, Yap juga mengejutkan karena membela sejumlah terdakwa kasus Gerakan 30 September seperti Soebandrio, Oei Tjoe Tat, dan Kolonel A. Latief. Padahal, Yap dikenal anti-komunis.

"Pembelaan Pak Yap dalam kasus Soebandrio itu amat mengesankan karena mutu ilmu hukumnya yang tinggi dan kegigihannya dalam mempertahankan secara ulung hak-hak terdakwa," tulis mantan Hakim Agung, Bismar Siregar, dalam buku Yap Thiem Hien: Pejuang Hak Asasi Manusia.

Pada 1973, ia mendesak Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), lembaga yang didirikannya, untuk mengeluarkan pernyataan soal pembebasan tahanan politik PKI di Pulau Buru, yang kebanyakan ditahan tanpa proses pengadilan.

Sikapnya konsisten soal pentingnya penegakan hukum. Suatu saat, putranya, Yap Hong Gie, menyerempet seseorang dengan mobilnya. Korban terluka parah. Apa yang terjadi? Yap sendiri yang membawa Hong Gie ke kantor polisi. "Bila mau dihukum ringan, ajukan kepada hakim di persidangan," kata Yap kepada anaknya.


Yap lahir di Kutaraja (kini bernama Banda Aceh), 25 Mei 1913. Ia anak sulung dari pasangan Yap Sin Eng dan Hoan Tjing Nio. Ada dua adik yang lahir menyusulnya.

Meski ekonomi keluarga sempat kolaps, yap beruntung bisa masuk Europeesche Lagere School (ELS). Kakek Yap, Yap Joen Khoy, adalah petinggi warga Tionghoa atas penunjukan pemerintahan kolonial Belanda.

Pendidikannya berlanjut. Sampai akhirnya bisa kuliah hukum di Universitas Leiden, Belanda. Yap meraih gelar master in de rechten pada September 1947.

Pada Februari 1949, Yap menikahi Tan Gien Khing Nio. Beberapa bulan kemudian ia mulai bekerja sebagai pengacara di Kantor Advokat Mr Lei Hwee Yoe.

Pria perokok berat ini juga merintis karir politik dengan menjadi kader Partai Kristen Indonesia. Pada 1956, ia menjadi anggota Konstituante.

Pada sidang Konstituante, 12 Mei 1959, Yap menjadi buah bibir karena menjadi satu-satunya anggota Konstituante yang secara terbuka menentang gagasan Presiden Bung Karno untuk kembali ke UUD 1945. Dalam keyakinan Yap, UUD Sementara 1950 lebih memberi garansi terhadap hak asasi manusia.

"Terlalu dominannya presiden dan eksekutif dalam UUD 1945 di mata Yap jelas akan membawa mereka kepada penyalahgunaan kekuasaan..." tulis Daniel S. Lev. Toh, Yap kalah. Melalui Dekrit 5 Juli 1959, Konstituante dibubarkan. Lalu, Indonesia kembali menggunakan UUD 1945.



Selepas Konstituante, Yap kembali ke jalur hukum. Lalu, Gerakan 30 September meletus dan Orde Lama runtuh.

Yap sempat ditahan karena tercatat pernah menjadi anggota Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) yang dianggap condong ke PKI. Namun, Yap sudah keluar dari sana pada 1959 setelah bertikai dengan pimpinan Baperki, Siauw Giok Tjan, yang mendukung gagasan Sukarno untuk kembali ke UUD 1945.

Ketika Orde Baru masih belia, pada 1970, Yap ikut mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) bersama PK Ojong, Loekman Wiriadinata, dan sejumlah nama lain. LBH dibentuk untuk memberikan advokasi bagi kaum miskin.

Kantor hukum Yap tetap berjalan. Tapi, lagi-lagi, ia mengatakan keunikannya. Kepada setiap klien, ia mengatakan, "Jika saudara hendak menang berperkara, jangan pilih saya sebagai pengacara Anda karena pasti kita akan kalah. Tetapi, jika saudara merasa cukup dan puas menemukan kebenaran Saudara, saya mau menjadi pembela Saudara."

Ia terbiasa menangani kasus pidana. Jarang perdata. Jika kliennya miskin, ia tak segan menggratiskan. Minimal, mendiskon gede-gedean ongkos jasanya sebagai pengacara.

Ketika peristiwa Malari meletus, Yap ikut ditahan selama setahun. Tanpa proses pengadilan. Ia dianggap ikut mengompori para mahasiswa untuk turun ke jalan.

15 tahun kemudian, 25 April 1989, Yap meninggal dunia di Brussel, Belgia. Saat itu ia sedang mengikuti pertemuan para donor untuk LSM di Indonesia.

Sejak 1992, nama Yap diabadikan menjadi penghargaan paling bergengsi di Indonesia dalam pembelaan hak asasi, Yap Thiam Hien Award. (Yus)

Baca juga:

Soe Hok Gie, Sang Pemberontak dari Jalan Kebon Jeruk
Yap Tjwan Bing, Apoteker yang Ikut Menyiapkan Kemerdekaan RI
PK Ojong, Jurnalis Peranakan Berhati Mulia

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya