Tapi hal tersebut tidak diimbangi dengan tersedianya lahan persawahan produktif di Indonesia, khususnya di wilayah Purwokerto. Area persawahan di daerah Purwokerto telah beralih fungsi menjadi perumahan, setiap tahunnya pembangunan perumahan di Purwokerto mengalami peningkatan yang cukup drastis.
Terbilang sedikitnya sudah ada 5 perumahan baru yang dibangun menggunakan lahan persawahan kurang lebih dalam kurun waktu 8 tahun terakhir. Perumahan tersebut di antaranya Perumahan Pasir Indah di Kecamatan Purwokerto Barat dan perumahan pasir luhur di Kecamatan Kedung Banteng.
Bukan hanya itu saja, di daerah grendeng yang dulu terkenal dengan beras grendengnya yang enak dan pulen, sekarang hampir tidak bisa lagi ditemkan beras grendeng beredar dipasaran. Lebih memperihatinkan lagi, sekarang hanya tersisa kurang lebih 40% area persawahan di wilayah grendeng. Hal ini yang membuat beras grendeng tidak lagi beredar dipasaran.
Ini terjadi karena area persawahan tersebut sudah beralih fungsi menjadi pemukiman penduduk dan pembangunan institute pendidikan berupa Universitas Jendral Soedirman Purwokerto. Seyogyanya pemerintah harus lebih bijaksana dalam memberikan izin membangun bangunan di lahan persawahan yang produktif, apalagi diwilayah grendeng merupakan wilayah yang subur dan cocok untuk menanam padi dengan kualitas bagus.
Walaupun pembangunan universitas tersebut sangatlah berpengaruh terhadap pendidikan khususnya di wilayah purwokerto dan sekitarnya, tapi seharusnya pemerintah bisa memilihkan lokasi yang sesuai dan tidak mengabaikan potensi alam yang ada.
Di sini, pemerintah terkesan bersikap lembek dan acuh dalam memberikan izin mendirikan bangunan di area persawahan, padahal bila area persawahan yang produktif terus berkurang karena digunakan untuk membangun bangunan, bagaimana Indonesia bisa mencukupi kebutuhan beras nasional, sedangkan fungsi beras sendiri sebagai bahan pangan utama belum bisa digantikan.
Apakah indonesia akan terus menerus mengimport beras demi kebutuhan rakyatnya? Padahal di sisi lain potensi Indonesia untuk menghasilkan produk beras dengan kualitas baik sangatlah tinggi. Bila pemerintah lebih mendukung program pertanian dan memberikan bantuan dana kepada petani, serta tidak memberikan izin yang mudah dalam penggunaan persawahan untuk pemukiman, kebutuhan beras nasional bisa tercukupi tanpa harus import.
Jangan salahkan petani yang menjual sawahnya demi menghidupi keluarganya. Petani menjual sawah mereka karena bukan untung yang didapat tapi rugi dikarenakan beras import lebih disukai dibanding beras lokal. Jadi masih pantaskah pemerintah menggunakan alasan import beras demi mencukupi kebutuhan beras nasional? Jawabannya tidak, justru dengan mengimport beras, akan mematikan petani lokal.
Pada dasarnya import beras bukan suatu solusi untuk memecahkan kebutuhan akan pangan nasional, karena pasti ada saja oknum pemerintah yang memanfaatkan hal tersebut untung meraup uang demi memenuhi kantong pribadinya.
Itu hanyalah sepotong gambaran tentang alih fungsi area persawahan menjadi pemukiman penduduk di wilayah Purwokerto. Coba Anda bayangkan bila di suatu daerah membangun 5 perumahan dan harus mengorbankan sedikitnya 1 hektar lahan persawahan produktif. Lalu bagiamana bila diseluruh Indonesia membangun perumahan lebih dari 500 unit, berapa banyak sawah yang akan dikorbankan?
Pasti sangatlah banyak, maka Anda bisa bayangkan berapa banyak penurunan produksi beras nasional? Import beras pasti meningkat, Lalu kesejahteraan petani lokal menurun.
Memang kebutuhan akan tempat tinggal sengatlah tinggi, ditambah lagi dengan populasi penduduk indonesia yang sangat besar. Akan tetapi seharusnya tidak mengorbankan area persawahan, pemerintah bisa memilihkan area lain, seperti relokasi bangunan kosong tak terpakai untuk pemukiman penduduk misalnya. Pada kenyataannya banyak sekali bangunan kosong tidak terpakai terbengkalai begitu saja, akan lebih baik untuk digunakan dari pada dibiarkan begitu saja.
Sangat jelas dimemori kita, pada masa pemerintahan Soeharto, Indonesia pernah berhasil melakukan swasembada beras. Akankah hal tersebut hanya tinggal kenangan? Ataukah bisa terulang lagi dimasa sekarang ini? Bagi orang orang berkantong tebal, hal tersebut bukanlah hal penting, toh swasembada atau tidak mereka tetap bisa makan.
Tapi bagaimana dengan kami rakyat kecil yang pas-pasan? Di era seperti ini, semua serba mahal, dan masih banyak warga Indonesia yang tak sanggup membeli beras untuk mengisi perut mereka, dan akibatnya busung lapar adalah penyakit umum yang sering dijumpai di jaman seperti ini.
Semoga ke depannya import beras bisa dikurangi, dan pemerintah lebih bijak dan aktif dalam memberikan dukungan dana untuk petani agar pertanian Indonesia lebih maju dan lebih mandiri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional dengan menggunakan produk pertanian lokal.
Dengan begitu, maka akan tumbuh rasa cinta tanah air yang tinggi dan kesejahteraan rakyat serta petani Indonesia lebih meningkat. Selain itu, alih fungsi area persawahan menjadi bangunan bisa dikurangi, maka indoneisa lebih mandiri dalam mengatasi kebutuhan pangan nasional dan bisa melaksanakan swaswembada beras lagi dimasa akan datang. (mar)
Penulis
Rista Saputri
Purwokerto,
Twitter: @Rista_Tsbana
Baca juga:
[Warga Mengadu] Disfungsi Lajur Sepeda di Purwokerto
[Warga Mengadu] Purwokerto Kini Makin Panas
[Warga Mengadu] Sikap Petugas Kelurahan yang Tidak Sopan
Disclaimer:
Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.
Advertisement
Anda juga bisa mengirimkan link postingan terbaru blog Anda atau artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas, kesehatan, keuangan, wisata, kuliner, gaya hidup, sosial media, dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.
Mulai 7 Januari sampai 7 Februari 2014 Citizen6 mengadakan program menulis bertopik dengan tema "Warga Mengadu". Ada hadiah dari Liputan6.com dan Dyslexis Cloth bagi 6 artikel terpilih. Caranya bisa disimak di sini.