Dilarang Pakai Solar, 500 Ribu Nelayan Terancam Tak Bisa Melaut

Larangan konsumsi jenis BBM bersubsidi untuk kapal di atas 30 GT dapat mengancam mata pencaharian nelayan.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 05 Feb 2014, 19:12 WIB
Larangan konsumsi jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi untuk kapal di atas 30 Gross Tonage (GT) atau daya tampung dari sebuah kapal dinilai menimbulkan gejolak politis apalagi diterapkan menjelang pemilihan umum (Pemilu).

Pengamat Energi Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria menilai, larangan konsumsi jenis BBM tertentu untuk kapal di atas 30 GT dilakukan mendadak. Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) juga tidak melakukan sosialisasi kepada pihak terkait.

Sebelumnya dikeluarkan surat BPH Migas Nomor: 29/07/Ka.BPH/2014 pada 15 Januari 2014 tentang larangan konsumsi jenis BBM tertentu untuk kapa di atas 30 GT.

"Sangat disayangkan , larangan tersebut dikeluarkan dengan tanpa ada rembug dengan kelompok nelayan dan atau  melalui organisasi nelayan yang ada. Selain itu larangan ini pun sangat disayangkan tanpa disosialisasikan secara nasional ke pihak pengguna bbm bersubsidi tersebut," kata Sofyano dalam laporan tertulisnya, di Jakarta, Rabu (5/2/2013).

Menurut Sofyano, larangan yang dikeluarkan tanpa didahului dengan sosialisasi ke para nelayan berpotensi menimbulkan dampak terhadap pelaku penyaluran BBM bersubsidi yaitu pihak Pertamina, AKR dan SPN.

"Ini berpotensi menimbulkan masalah di lapangan yang tidak menguntungkan kepada pelaku penyaluran bbm tertentu tersebut," ungkap Sofyano.

Selain itu, penetapan pemberlakukan larangan itu berpotensi menimbulkan gejolak politis. Hal itu mengingat ketentuan dikeluarkan empat bulan menjelang pelaksanaan pemilu.

"Mengingat jumlah nelayan di negeri ini yang sangat siginifikan dan ketika  timbul penolakan dari mereka terhadap larangan tersebut , maka ini bisa jadi alat perjuangan bagi Parpol dan calon Legislatif untuk meraih simpati para nelayan," tutur Sofyano.

Perintah BPH Migas yang tidak menyalurkan BBM bersubsidi bagi kapal usaha perikanan di atas 30 GT berpotensi bertentangan dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 tahun 2013 tentang harga jual eceran BBM jenis tertentu untuk konsumen pengguna tertentu.
Hal itu karena Peraturan Menteri itu tidak secara tegas memuat larangan sama dengan ketentuan BPH Migas tersebut.

Sementara itu, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Yussuf Solichien mengatakan, kapal-kapal ikan di atas 30 GT rata-rata diawaki oleh 30-50 orang nelayan. Bila 10.000 kapal ikan di atas 30 GT yang tidak melaut, berarti ada lebih kurang 500.000 orang nelayan yang akan kehilangan pekerjaan.

HNSI, lanjut Yussuf, dan seluruh masyarakat nelayan meminta kepada Pemerintah menangguhkan pelaksanaan Surat BPH Migas Nomor: 29/07/Ka.BPH/2014 pada 15 Januari 2014 tentang larangan konsumsi jenis BBM tertentu untuk kapal di atas 30 GT.

Selain itu, himpunan nelayan juga  meminta pemberlakuan kembali Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Peraturan Presiden tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis BBM Tertentu. (Pew/Ahm)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya