Menghadapi penolakan pengusaha tambang terkait ketentuan pengenaan bea keluar (BK) tambang mineral olahan ekspor, Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat menegaskan pemerintah akan mencoba memberikan pengertian sambil memantau imbas yang terjadi pada perusahaan.
"Kami berjanji itu akan dihadapi dengan baik dan pemerintah ingin tetap memberikan pengertian bahwa UU dan aturan pemerintah tetap berjalan," ujarnya di Jakarta, Kamis (6/2/2014).
Hidayat menjelaskan, pengenaan bea keluar sebenarnya ditujukan untuk menahan laju ekspor bahan mentah dari Indonesia. Untuk itu, dibutuhkan komitmen dari perusahaan agar bisa membangun pabrik pemurnian dan pengolahan bahan tambang (smelter) dalam jangka waktu 3 tahun.
"Bila perusahaan sudah membangun smelter dan secara fisik sudah bisa dimulai, maka nanti tidak diperlukan lagi bea keluar dalam tahun ke 3," lanjutnya.
Selama tiga tahun ke depan, perusahaan sebetulnya masih diperkenankan mengekspor produk mineral mentahnya sesuai persyaratan yang telah ditentukan. Izin ekspor juga diberikan bagi perusahaan yang telah melakukan proses value added.
Untuk saat ini, Kemenperin mengaku belum bisa memastikan persentase pengurangan bea keluar bagi perusahaan yang sudah membangun smelter. Pihaknya hanya berjanji usulan perubahan persentase besa keluar bisa pelanjari jika perusahaan mulai melakukan pembangunan smelter.
Meski bersikukuh dengan ketentuan larangan ekspor, sikap Kemenperin seolah melunak. MS Hidayat mengatakan institusinya akan melihat pelaksanaan kebijakan larangan ekspor tersebut di daerah. "Apakah itu akan bisa lebih lancar atau harus mengalami penyesuaian," katanya.
Sikap berbeda justru ditujukan Wakil Menteri Keuangan II Bambang Brodjonegoro. Menurutnya pemerintah tidak akan mengubah aturan yang sudah ditetapkan dalam UU Minerba. "Harus tetap berkomitmen untuk menyelesaikan smelter, itu posisi terakhir. Ini Indonesia, harus ikutin aturan kita," tegasnya.(Dny/Shd)
Baca juga
"Kami berjanji itu akan dihadapi dengan baik dan pemerintah ingin tetap memberikan pengertian bahwa UU dan aturan pemerintah tetap berjalan," ujarnya di Jakarta, Kamis (6/2/2014).
Hidayat menjelaskan, pengenaan bea keluar sebenarnya ditujukan untuk menahan laju ekspor bahan mentah dari Indonesia. Untuk itu, dibutuhkan komitmen dari perusahaan agar bisa membangun pabrik pemurnian dan pengolahan bahan tambang (smelter) dalam jangka waktu 3 tahun.
"Bila perusahaan sudah membangun smelter dan secara fisik sudah bisa dimulai, maka nanti tidak diperlukan lagi bea keluar dalam tahun ke 3," lanjutnya.
Selama tiga tahun ke depan, perusahaan sebetulnya masih diperkenankan mengekspor produk mineral mentahnya sesuai persyaratan yang telah ditentukan. Izin ekspor juga diberikan bagi perusahaan yang telah melakukan proses value added.
Untuk saat ini, Kemenperin mengaku belum bisa memastikan persentase pengurangan bea keluar bagi perusahaan yang sudah membangun smelter. Pihaknya hanya berjanji usulan perubahan persentase besa keluar bisa pelanjari jika perusahaan mulai melakukan pembangunan smelter.
Meski bersikukuh dengan ketentuan larangan ekspor, sikap Kemenperin seolah melunak. MS Hidayat mengatakan institusinya akan melihat pelaksanaan kebijakan larangan ekspor tersebut di daerah. "Apakah itu akan bisa lebih lancar atau harus mengalami penyesuaian," katanya.
Sikap berbeda justru ditujukan Wakil Menteri Keuangan II Bambang Brodjonegoro. Menurutnya pemerintah tidak akan mengubah aturan yang sudah ditetapkan dalam UU Minerba. "Harus tetap berkomitmen untuk menyelesaikan smelter, itu posisi terakhir. Ini Indonesia, harus ikutin aturan kita," tegasnya.(Dny/Shd)
Baca juga
Hatta Rajasa Sindir Pengusaha yang Enggan Bangun Smelter
Wamen ESDM Marah Terhadap Freeport dan Newmon Soal Ini
Advertisement
Tak Ada Pengecualiaan buat Freeport soal Ekspor Mineral Mentah
Wakil Menteri: Menteri ESDM Diancam Newmont
Pengusaha Kukuh Tolak Bea Keluar Mineral Mentah
Ekspor Bijih Mineral Distop, Pengusaha Tambang Rugi Rp 45 Triliun