Pramoedya Ananta Toer, Ketika Kemiskinan Membekapnya

Saat diusir pertama kali, meski terhina, ia tak beranjak. Situasinya berbeda saat pengusiran datang kembali.

oleh Liputan6 diperbarui 06 Feb 2014, 22:54 WIB

Penulis Ajip Rosidi menyewa rumah di kawasan Kramat Pulo, Jakarta Pusat. Suatu siang, ketika ia sedang asyik mengetik di ruang depan, terdengar pintu diketuk.

Saat Ajip membuka pintu, yang nongol adalah Pramoedya Ananta Toer. Pria kelahiran Blora, 6 Februari 1925, itu kemudian berbisik, "Kau ada nasi, tidak? Aku sudah beberapa hari tidak makan!"

Hari itu, istri Ajip sedang mudik. Nasi ada tapi sudah dingin. Tak ada lauk-pauk. Maka, nasi dingin itulah yang disajikan Ajip kepada Pramoedya, yang segera menyantapnya. Hanya dengan mentega.

Dalam Mengenang Hidup Orang lain, Ajip bercerita, di dekade 1950-an itu, Pram sedang mengalami kesulitan keuangan. Istri keduanya, Maimunah, pun sempat diungsikan ke rumah sang mertua.

Istri pertama Pramoedya adalah Arvah Iljas. Sudah menjadi rahasia umum, mereka akhirnya bercerai dengan didahului pengusiran Pramoedya dari rumah yang selama ini mereka tinggali.

Adik Pramoedya, Koesalah Soebagyo Toer, yang ikut di rumah itu juga harus menerima nasib untuk hengkang. Semua terjadi ketika Pramoedya sedang merintis karir sebagai penulis. Penghasilan belum seberapa. Dan, persoalan ekonomi itu yang memicu perceraian.

"...tidak mengherankan kalau ia mengucapkan kalimat ekstra keras kepada Mas Pram yang seolah merupakan palu godam bagi putusnya hubungan perkawinan mereka..." tulis Koesalah dalam memoarnya, Bersama Mas Pram.

Sebelum pergi, Pramoedya dua kali diusir.  Saat diusir pertama kali, meski terhina, ia tak beranjak. Situasinya berbeda saat pengusiran datang kembali.

"Harga diri dan kebanggaan diriku mulai tersinggung. Sikap mamahmu sudah aku nilai bukan sikap seorang istri terhadap suaminya," tulis Pramoedya dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 2.

Maimunah berasal dari keluarga kaya. Ia kemenakan pahlawan nasional, Muhamammad Husni Thamrin. Ketika mereka menikah, Pramoedya memboyong Maimunah ke rumah kontrakan di Utan Kayu.

Pramoedya biasa bekerja di ruang depan, menghadap ke halaman. Di halaman itu terdapat sumur umum, tempat warga sekitar mandi dan mencuci.

Dalam kenangan Koesalah, kakaknya kerap mengamati kesibukan di sumur umum itu. "Saya yakin, sebagian dari percakapan, cerita, atau adegan, di sekitar itu pasti merepet di dalam mesin tiknya," tulis Koesalah.

Ajip menuturkan, Pramoedya makin dihimpit kesulitan keuangan karena majalah-majalah tak mau memuat tulisannya. Pun, sejumlah penerbit buku menjauh. Termasuk, penerbit Pembangunan yang dipimpin budayawan Soedjatmoko.

"Saya kira penolakan Soedjatmoko untuk menerbitkan karya-karya Pram dan Utuy (Tatang Sontani) karena keduanya didekati oleh orang-orang kiri," tulis sastrawan Sunda itu.

Beruntung, Pramoedya kemudian diminta menerjemahkan karya-karya penulis Uni Soviet, di antaranya Ibunda karya Maxim Gorki. Permintaan ini banyak menolong dapur Pramoedya tetap ngebul.

Ketika, pada 1959, Pramoedya mewakili Indonesia menghadiri Konferensi Pengarang Asia-Afrika yang pertama di Uni Soviet, sikap kaum anti-komunis menjadi final: tak mau lagi menerbitkan karyanya.

Di saat itu, kaum kiri terus mengulurkan bantuan. Selepas dari tahanan gara-gara buku Hoakiau di Indonesia, pada 1960, Pramoedya menjadi redaktur di Bintang Timur. Koran ini berafiliasi ke Partindo, bukan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Kehidupan perekonomiannya berangsur pulih. Koesalah bercerita, Pramoedya mampu membeli sepeda motor Harley Davidson-- meski bekas.

"500 cc! Dan kekuatannya  sama dengan jip," ujar Pramoedya.

Dengan sepeda motor tersebut, kakak-beradik yang berbeda usia 10 tahun itu sempat jalan-jalan ke Sukabumi, Jawa Barat. Mau cari tanah untuk beternak bebek, kata Sang Kakak. (Yus)


Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya