Minamata Menyerang Warga Bolaang Mongondow

Pencemaran pantai yang dilakukan PT Newmont Minahasa Raya dituding sebagai penyebab. Selain Newmont, Depkes juga dianggap lalai mengantisipasi penyakit tersebut. Dinkes dan PT NMR dituntut bertanggung jawab.

oleh Liputan6 diperbarui 20 Jul 2004, 21:38 WIB
Liputan6.com, Jakarta: Ratusan warga Dusun Ratatotok, Desa Buyat, Kecamatan Kotabunan, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, menderita penyakit yang diduga mirip kasus Minamata (minamatabyo) yang pernah mewabah di Jepang. Penyakit itu diduga berasal dari air Teluk Buyat yang terkontaminasi logam berat arsen (As) dan merkuri yang dibuang pabrik penambang emas asal Amerika Serikat, PT Newmont Minahasa Raya (NMR). Karena itulah, warga Ratatotok yang diwakili Masna Stirman dan Juriah Ratumbahe mengadukan PT MNR dan Departemen Kesehatan ke Markas Besar Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Selasa (20/7) pagi. Sebelumnya, mereka juga telah mendatangi Kedutaan Besar AS di Jakarta untuk meminta pertanggungjawaban.

Penyakit yang banyak diderita warga pantai Buyat antara lain tumor, cacat tubuh, dan penyakit aneh lainnya. Salah satunya adalah yang dialami Andini Lensun dan Sri Fika, keduanya adalah anak Masna Stirman. Andini meninggal secara mengenaskan pada usia lima bulan. Sedangkan Sri yang baru berumur 1,9 tahun yang ikut dibawa ke Jakarta juga mengalami penyakit kulit parah. Sementara Juriah Ratumbahe menderita penyakit yang diduga tumor di leherya.

Perwakilan korban datang ke Jakarta dibantu Lembaga Swadaya Masyarakat Kesehatan dan dokter Jen Pangemanan dari Universitas Sam Ratulangi. Menurut Jen, Depkes telah lalai dan membiarkan warga pantai Buyat menjadi korban bahan kimia dari limbah pabrik PT NMR. Terbukti dari hasil pemeriksaan terhadap 100 warga setempat, sekitar 80 persen di antaranya telah mengalami gangguan kesehatan yang tidak normal. Betapa tidak, pencemaran logam berat arsen dan merkuri di Teluk Buyat telah masuk ke dalam rantai makanan warga di sekitarnya. Asal tahu saja, kontaminasi merkuri pada manusia dapat melalui makanan, minuman, dan udara.

Usai dari Mabes Polri, Masna Stirman dan Deni Mangundap dari Tim Advokasi Yayasan Suara Nurani sempat berdialog dengan Bayu Sutiyono di studio SCTV. Masna sempat menceritakan penderitaan anaknya Andini sebelum akhirnya meninggal. "Sejak dia lahir, dia sudah sakit, kulitnya itu hitam, seperti hangus terbakar," tutur Masna. Sebelum Andini wafat, pihak keluarga sempat mengabadikan bocah malang itu ketika berumur tiga bulan. Seluruh kulit Andini melepuh seperti luka sayatan-sayatan kecil. Andini juga sering gelisah karena kepanasan.

Masna mengaku ada kelainan sejak mengandung Andini. Dia sering sakit kepala, kejang-kejang, bahkan penglihatannya berkurang. Setelah anaknya lahir, dia menemukan kejanggalan di sekujur kulit tubuh Andini. Melihat putrinya menderita, Masna membawanya ke pusat kesehatan masyarakat terdekat. Namun menurut keterangan dokter yang memeriksanya, Andini hanya mengalami penyakit kulit biasa dan langsung dianjurkan pulang. Kasus yang menimpa Andini ternyata juga menimpa bocah lain di pantai Buyat. "Warga di sana sudah pada takut, karena di sana kan banyak benjolan juga," keluh Masna.

Warga di pantai Buyat mayoritas berprofesi sebagai nelayan. Tapi kini ikan-ikan sebagian besar telah menjauh dari Teluk Buyat. Semantara ikan yang tertangkap nelayan kebanyakan sudah tercemar. "Ada kalanya ikan baru dapat, sudah masak dagingnya," kata Masna. Sebagian ikan juga mengalami perbedaan rasa dan sering ditemukan benda seperti pakan saat disantap. Karena itulah, Masna meminta pemerintah dan PT Newmont bertanggung jawab. "Kami warga di pantai Buyat minta semua harus bertanggung jawab. Limbah itu juga harus diangkat," Masna meminta.

Pernyataan Masna diamini Deni yang sempat lama bersama anggota Yayasan Suara Nurani dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) berada di Dusun Ratatotok. Deni mengaku pernah mendatangkan dokter Jen setelah melihat penderitaan warga di sana. Dari hasil penelitian dokter Jen dan sejumlah peneliti lain, warga di sana positif terkontaminasi logam merkuri. "Hal itu diperkuat dengan penelitian-penelitian yang menyatakan 25 pasien itu ternyata terkontaminasi logam berat" kata Deni.

Pencemaran di Teluk Buyet terjadi ketika PT Newmont beroperasi. Ketika PT Newmont belum beroperasi, nelayan setempat mudah mencari ikan. Tapi ketika PT Newmont beroperasi pada 1996, ikan-ikan menjauh dari teluk. Pencemaran semakin parah ketika pipa limbah PT Newmont pecah pada 1997. "Pipanya itu diarahkan ke Teluk Buyet," ungkap Deni. Sejak saat itulah air teluk warnanya berubah.

Pencemaran teluk sebenarnya telah lama dilaporkan kepada pemerintah, namun tidak ada tanggapan. Pemerintah tidak mengakui laporan tersebut. Pemerintah diduga hanya menggunakan data dari PT Newmont yang menyatakan pendirian pabrik berada di wilayah yang jauh dari penduduk. Padahal, masyarakat di sana telah ada jauh sebelum PT Newmont berdiri. "Itulah pembohongan, sehingga itu [pencemaran teluk] tidak pernah terangkat ke publik," kata Deni.

Sekadar informasi, penyakit Minamata ditemukan pertama kali di Teluk Minamata, Jepang pada 1956 dan mencapai puncaknya pada 1968. Direktur salah satu rumah sakit di Minamata menemukan gejala yang seragam pada semua pasiennya: mengalami kerusakan sistem syaraf. Penyakit Minamata tidak hanya berdampak buruk kepada manusia, tetapi juga binatang. Dalam sebuah kasus, kucing yang memakan ikan yang sudah tercemar jalannya terseok-seok dan mengalami kejang-kejang sebelum akhirnya meninggal.

Setelah diteliti lebih lanjut, ternyata para pasien itu tercemar merkuri yang dibuang Nippon Nitrogen Fertilizer. Polutan masuk dalam tubuh binatang laut seperti ikan, kerang, udang, dan makhluk hidup laut yang lain. Hewan laut tersebut kemudian banyak dimakan orang Jepang sehingga wabah Minamata pun meluas.

Pada sejumlah kasus, merkuri menimbulkan reaksi pada kelenjar lidah, seperti mengeluarkan ludah secara terus-menerus, sulit berbicara, telinga berdenging, dan mata kabur. Bahkan, jika terkena jaringan syaraf tremor bisa menyebabkan anggota badan membengkak. Sedangkan jika mengenai jaringan syaraf psikonis bisa menyebabkan kelumpuhan serta sesak napas. Sedangkan menurut data dari Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, ada sembilan gejala keracunan merkuri. Antara lain sulit tidur, rasa dingin pada tangan dan kaki, tidak bisa mencium bau, sering lupa, kurang tenaga, cepat lelah, mati rasa, gangguan pendengaran, dan selalu sakit kepala.(YAN/Tim Liputan 6 SCTV)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya