Pengusaha Tambang & CPO Picu Ketimpangan Kekayaan di Indonesia

Bappenas membantah anggapan yang menyebutkan kondisi masyarakat miskin semakin miskin dalam beberap atahun terakhir.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 19 Feb 2014, 20:30 WIB
Kekayaan para pengusaha di sektor tambang dan perkebunan dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat. Naiknya harga komoditas belakangan ini telah membantu menambah pundi-pundi kekayaan masyarakat kelas atas lain.

Sayangnya, bertambahnya kekayaan para pengusaha komoditas ini justru memicu persoalan baru. Pemerintah mengungkapkan tingkat ketimpangan pendapatan (gini ratio) di masyarakat memang masih melebar.

Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan, selama 10 tahun terakhir, ketimpangan pendapatan di Indonesia berkisar antara 0,32 sampai dengan 0,41. Meski meningkat, ketimpangan pendapatan masyarakat ini masih berada pada tahap sedang atau berada di rentang 0,3-0,5.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN), Armida Alisjahbana mengakui adanya ketimpangan pendapatan karena meningkatnya harta kekayaan para pengusaha pertambangan dan perkebunan. Namun dirinya membantah jika kondisi masyarakat miskin menjadi tambah miskin.

"Misalnya 40 orang terkaya (hartanya) naik tinggi. Tapi yang lain naik juga. Jadi tidak betul yang miskin tambah miskin," ungkap dia usai Raker dengan Badan Anggaran DPR, Jakarta, Rabu (19/2/2014).

Armida menilai, penyebaran orang kaya dan orang miskin yang tidak merata, dipicu golongan masyarakat kelas atas yang memilih tinggal di Pulau Jawa. Para hartawan ini juga memiliki kemudahan akses sumber daya alam yang berlimpah. "Orang Timur juga banyak," ujarnya.

Ke depan, pemerintah berharap, gini ratio akan berada di kisaran menengah 0,41 seiring harga komoditas yang menurun dalam beberapa tahun terakhir. Dengan berkurangnya kekayaan, ketimpangan pendapatan antara masyarakat miskin dan kaya diharapkan takkan bertambah lebar.

Lebih jauh, Armida berharap masyarakat kelas bawah dan menengah dapat segera naik kelas menjadi golongan atas. Salah satu caranya adalah mengajak orang kaya untuk menginvestasikan kembali 20% peningkatan pendapatannya untuk memicu multiplier effect. "Jangan hanya bersifat pribadi," tuturnya.

Cara ekstrem lainnya adalah mengenakan pajak progresif bagi orang kaya sesuai ketentuan yang berlaku. Sayangnya, Armida mengakui, pengenaan pajak progresif ini akan berbenturan dengan Undang-undang (UU) Perpajakan.

"Dalam UU perpajakan kan sudah ada tarif-tarifnya, jadi tidak bisa dirubah cepat dan mesti ada revisi UU," pungkas dia.(Fik/Shd)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya