Liputan6.com, Denpasar: Seorang wanita tua tampak sibuk di belakang sebuah panggung di Denpasar, Bali. Dia masuk ke ruang rias. Di sana, ia menyerahkan tubuhnya dari ujung rambut hingga ujung kaki dipoles penata rias kepercayaan. Usai dirias, wanita itu lantas bersembahyang memohon kekuatan dan keselamatan. Hari itu, ia akan mementaskan tarian demang miring khas Bali. Di atas panggung, ia melenggok penuh percaya diri. Penonton pun menyambut dengan tepuk tangan ketika tarian selesai ditampilkan.
Sang penari adalah Jero Puspawati. Tak banyak memang yang mengetahui prestasi nenek berumur 71 tahun ini. Di era pemerintahan Presiden Soekarno, Jero kerap diundang menari di berbagai istana seperti Istana Negara Jakarta, Istana Bogor, Jawa Barat, dan Istana Negara di Tampaksiring, Bali. Bersama kelompok kesenian Sri Budaya Bali, Jero Puspa juga pernah diundang ke Srilanka, Pakistan, Singapura, dan Rusia.
Di usia senja, ibu dari Wali Kota Denpasar Agung Bagus Puspayoga ini, masih memiliki sejumlah murid. Tak cuma dari dalam negeri, siswa tari asuhan Jero juga di antaranya berasal dari Jepang, Belanda, dan Australia. Kepada para siswa, ia selalu berpesan agar semua tarian yang pernah diajarkan bisa dilestarikan hingga akhir zaman.
Jero belajar menari sejak berusia 10 tahun. Ia memang tumbuh di keluarga penari. Kakeknya adalah pelatih tari janger dan arja. Sedangkan ibunya juga penari janger. Pada usia yang ke-17, perempuan bernama asli Ni Made Puspawati ini tampil di atas panggung untuk pertama kalinya. Pentas perdana itu dianggap sukses, sehingga nama Jero meroket hingga mengantarkannnya tampil di Istana Presiden.
Setelah menikah dengan Cokorda Bagus Sayoga pada 1955, aktivitas menari Jero mulai surut. Di era 1960-an, ia mulai larut dalam urusan keluarga. Pada 1973, Jero kembali ke dunia tari dengan menjadi dosen luar biasa di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI), Denpasar. Jero mengajar di ASTI hingga 1979. Setelah itu, ia bergabung di padepokan seni milik sastrawan Sutan Takdir Alisjahbana. Di padepokan seni ini, ia menciptakan beberapa tarian kreasi baru dan menggelar sejumlah pementasan.(ZAQ/Putu Setiawan)
Sang penari adalah Jero Puspawati. Tak banyak memang yang mengetahui prestasi nenek berumur 71 tahun ini. Di era pemerintahan Presiden Soekarno, Jero kerap diundang menari di berbagai istana seperti Istana Negara Jakarta, Istana Bogor, Jawa Barat, dan Istana Negara di Tampaksiring, Bali. Bersama kelompok kesenian Sri Budaya Bali, Jero Puspa juga pernah diundang ke Srilanka, Pakistan, Singapura, dan Rusia.
Di usia senja, ibu dari Wali Kota Denpasar Agung Bagus Puspayoga ini, masih memiliki sejumlah murid. Tak cuma dari dalam negeri, siswa tari asuhan Jero juga di antaranya berasal dari Jepang, Belanda, dan Australia. Kepada para siswa, ia selalu berpesan agar semua tarian yang pernah diajarkan bisa dilestarikan hingga akhir zaman.
Jero belajar menari sejak berusia 10 tahun. Ia memang tumbuh di keluarga penari. Kakeknya adalah pelatih tari janger dan arja. Sedangkan ibunya juga penari janger. Pada usia yang ke-17, perempuan bernama asli Ni Made Puspawati ini tampil di atas panggung untuk pertama kalinya. Pentas perdana itu dianggap sukses, sehingga nama Jero meroket hingga mengantarkannnya tampil di Istana Presiden.
Setelah menikah dengan Cokorda Bagus Sayoga pada 1955, aktivitas menari Jero mulai surut. Di era 1960-an, ia mulai larut dalam urusan keluarga. Pada 1973, Jero kembali ke dunia tari dengan menjadi dosen luar biasa di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI), Denpasar. Jero mengajar di ASTI hingga 1979. Setelah itu, ia bergabung di padepokan seni milik sastrawan Sutan Takdir Alisjahbana. Di padepokan seni ini, ia menciptakan beberapa tarian kreasi baru dan menggelar sejumlah pementasan.(ZAQ/Putu Setiawan)