Liputan6.com, Jakarta: Subuh hampir menjelang di Hotel Kebayoran Inn di Jalan Senayan Nomor 87, Jakarta Selatan, pada Selasa pekan silam. Bersamaan dengan semilir angin malam yang masih terasa, belasan pemuda merangsek ke hotel bertarif Rp 200 ribu hingga Rp 1 juta sehari itu. Tanpa bisa dicegah, mereka yang bermuka bengis itu langsung menuju kamar 301. Basri Sangaji yang dicari. Kejadian berlangsung cepat, tak lebih dari 15 menit. Gaduh sebentar, sekelompok pemuda itu yang berwajah bengis dan dingin itu kemudian keluar. Tak ada yang berani mendekat. Sampai di parkiran, mereka sempat merusak kendaraan Basri. Setelah puas, mereka pun raib bak ditelan kabut subuh.
Petugas hotel baru berani memastikan keadaan setelah gerombolan orang itu pergi. Mereka bergegas menuju kamar 301. Benar saja, sang tamu hotel sudah bersimbah darah. Basri mati di sofa dengan lubang di dada. Adiknya, Ali Sangaji yang berusia 30 tahun merintih. Tangannya nyaris putus, selangkangannya pun terus mengucurkan darah. Kondisi seorang kerabat Basri tak jauh beda. Anyir darah begitu terasa. Jamal Sangaji, 33 tahun, mengerang sambil memegangi tangan kanannya yang sudah tak berjari.
Setelah diotopsi di Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre (MMC), Jaksel, Basri disemayamkan di rumah keluarganya di bilangan Pulomas, Jakarta Timur. Ribuan pelayat pun membanjiri rumah duka. Esok petangnya, Jenazah orang yang dekat dengan calon presiden Wiranto itu kemudian diterbangkan ke Ambon, Maluku.
Jasad Basri kemudian dibawa ke kampung halamannya, Desa Rohomoni, Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah. Keheningan malam pun pecah ketika jenazah Basri datang dan disambut dengan teriakan histeris masyarakat Rohomoni. Malam itu, ratusan warga tumpah-ruah di pinggir pantai Pulau Haruku. Mereka menyambut jenazah Basri dengan kesedihan mendalam. Kematian putra pertama dari pahlawan nasional A.M. Sangaji yang disegani di daerah itu memang membuat warga Maluku berduka.
Tak pelak, kedatangan jasad Basri sempat membuat Negeri Seribu Pulau menjadi panas. Kabar burung pun merebak. Entah siapa yang mengembuskan, anak buah Basri yang sebagian besar "pensiunan" konflik Maluku dikabarkan bakal membalas dendam. Untungnya, polisi cepat tanggap membaca gelagat itu. Kepala Kepolisian Resor Ambon Komisaris Besar Polisi Leonidas Braskan langsung memimpin pengawalan bersama aparat dari TNI dan Polri mulai dari Bandar Udara Pattimura hingga ke kampung halamannya [baca: Jenazah Basri Sangaji Tiba di Ambon].
Pengawalan ketat itu memang wajar. Maklumlah, polisi berupaya keras mengantisipasi terulangnya rentetan peristiwa berdarah yang menelan 1.842 jiwa akibat konflik antaragama di Maluku. Apalagi kerusuhan yang terjadi pada 1998-1999 itu juga diawali bentrokan antarpemuda [baca: Mimpi Buruk Bernama Darurat Sipil]. Tak heran jika aparat yang diturunkan tak sekadar mengawal jenazah. Mereka dibekali dengan senapan. Bahkan jasad Basri pun dibawa dengan mobil militer. Untuk mendinginkan suasana, sejumlah tokoh Maluku juga ikut mengantarkan Basri ke peristirahatan terakhirnya. Di antara pelayat, tampak mantan Gubernur Maluku Saleh Latuconsina. "Kita berharap ini adalah cobaan bagi kita semua, dan almarhum dapat diterima di sisi-Nya," kata Latuconsina [baca: Basri Sangaji Dimakamkan].
Untuk mengantisipasi kerusuhan, polisi juga cepat tanggap dengan kondisi yang kian panas. Meski sejumlah spekulasi seputar kematian Basri masih menimbulkan banyak pertanyaan, polisi bertindak cepat. Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Mathius Salempang yang memimpin penyidikan telah menangkap delapan tersangka [baca: Delapan Tersangka Pembunuh Basri Sangaji Ditangkap]. Mathius juga menetapkan bahwa kasus pembunuhan Basri, murni kriminal [baca: Pembunuh Basri Sangaji Bermotifkan Dendam]. Tersiar kabar, jika pembunuhan Basri berlatar belakang perebutan daerah kekuasaan di Mangga Besar, Jakarta Barat.
Pria bernama lengkap Basri Jala Sangaji adalah pribadi yang penuh warna. Pria berumur 35 tahun itu tak hanya terkenal dalam dunia preman yang keras. Basri juga dikenal dekat dengan sejumlah tokoh, mulai dari pejabat, ulama, hingga dunia hiburan malam. Di mata Ketua Umum Front Pembela Islam Habib Rizieq Shihab, almarhum adalah anak nakal yang manis. Sebutan itu tak lepas dari niat Basri yang ingin mendalami ajaran Islam kepada Rizieq.
Basri Sangaji memang dikenal dekat dengan berbagai kalangan. Tak hanya bermain di dunia keras dan hiburan malam, warga Jalan Pangkal Raya Nomor 3, Pela Mampang, Jaksel itu juga terjun ke dalam kancah politik. Sepak terjangnya di dunia politik dimulai sejak terlibat dalam terbentuknya pengamanan swakarsa (Pam Swakarsa) pada 1998. Terakhir, dia juga aktif menjadi anggota tim sukses calon presiden dari Partai Golongan Karya, Wiranto dan Salahuddin Wahid pada pemilihan presiden putaran pertama, Juli silam.
Nama Basri Sangaji juga pernah menghiasi media massa nasional pada pertengahan 2002 ketika terlibat konflik dengan kelompok John Key. Selain itu, Basri juga diduga terlibat dalam kerusuhan di Ketapang, Jakarta Pusat, akhir November 1998. Tetapi keterlibatan Basri di Ketapang dibantah oleh Habib Rizieq.
Menelisik masa silam Basri Sangaji ibarat membuka lembaran album foto kerasnya dunia preman. Dia diduga kuat banyak bersinggungan dengan dunia hitam. Tak heran jika Basri ditengarai memiliki banyak musuh. Salah satunya adalah John Key, salah seorang pimpinan geng yang pernah berseteru dengannya [baca: Kepolisian Tak Terpengaruh Desakan Kelompok Hercules dan Basri]. John Key mengakui delapan tersangka pembunuh Basri adalah anak buahnya. Dia juga mengaku dendam pada Basri yang dituduhnya telah membunuh saudaranya, lima tahun silam. Namun Basri lolos dari jeratan hukum karena saat itu diduga berhubungan dekat dengan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Mayor Jenderal Polisi Noegroho Djajoesman.
Selain dengan John Key, Basri juga pernah bentrok dengan kelompok penguasa Tanahabang, Jakpus, pimpinan Hercules. Hercules juga menyatakan, Basri Sangaji mempunyai banyak musuh, dan ia adalah salah satunya. Dia mengaku pernah berteman baik dengan korban, namun masalah bisnis penagihan utang telah memisahkan persahabatan mereka.
Entah karena hati-hati atau karena sebab lain, yang pasti hingga kini polisi tidak menangkap John Key. Padahal, keluarga Basri berkeras meminta polisi membekuk John Key. Salah satu keluarga yang menuding John Key sebagai otak pembunuh Basri adalah Basri Moni, paman korban. Apalagi keponakannya itu pernah terlibat konflik dengan John Key di Diskotek Hailai, Ancol, Jakarta Utara dan Diskotek Stadium di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Barat pada 2002 [baca: Diskotek Stadium Diserang, Dua Orang Tewas].
Anton Medan yang telah lama pensiun dari dunia preman pun angkat bicara. Menurut dia, pembunuhan Basri memang berlatar dendam. Pelaku diperkirakan putus asa karena pengaduannya ke polisi tidak pernah digubris. Tak heran jika kemudian si pelaku "membereskan" sendiri masalah tersebut. "Dilaporkan ke polisi beberapa kali, hingga masa pembunuhan [karena] tidak ditanggapi," kata Anton di Studio Liputan 6 SCTV, Jakarta, malam tadi.
Lebih lanjut Anton menjelaskan, buntunya pengungkapan pelaku pembunuhan Basri karena kasus ini melibatkan konspirasi tingkat tinggi. Menurut Anton, pelaku diperkirakan mempunyai backing yang cukup kuat sehingga polisi tidak berkutik. Pelindung si pelaku diperkirakan berasal dari kalangan pejabat. "Sebenarnya yang dipakai itu orang-orang yang punya nama," ungkap Anton.
Di sinilah terungkap bahwa antara preman dan sejumlah pejabat mempunyai hubungan saling menguntungkan. Menurut Anton, pejabat membutuhkan preman untuk mempermudah pekerjaannya. Contohnya, penggusuran tanah. Dengan bantuan "pendekar", bisa dipastikan penggusuran tanah bisa dilakukan. Mereka juga membutuhkan preman ketika kekuasaannya terancam oleh aksi massa. Saat itulah sosok preman dimajukan. Sementara preman membutuhkan pejabat untuk melindunginya dari cengkeraman polisi. Tak mengherankan, bila kasus pembunuhan Basri belum menemui titik terang.
Dalang di balik pembunuhan Basri seharusnya tak sulit untuk dibongkar. Karena peristiwa itu menyimpan dua saksi mata yang turut menjadi korban. Mereka adalah Ali Sangaji dan Jamal Sangaji. Kedua adik korban juga mengaku mengenal kelompok yang menyerbu mereka. Selain itu, sejumlah barang bukti juga ditemukan di lokasi kejadian. Kuat dugaan saat kejadian, paling tidak ada dua senjata api yang menyalak. Salah satunya pistol berizin dengan peluru karet milik korban. Sedangkan satunya berasal dari bukti selongsong dan satu butir peluru kaliber sembilan milimeter.
Nah, untuk mengurai benang kusut itu, Anton menyarankan kepada polisi untuk lebih berani. Menurut Anton, premanisme memang tidak bisa dihapuskan. Namun bukan berarti tidak bisa dikurangi. "Sekarang tinggal bagaimana aparat, mencari hukum yang tepat untuk menjerat mereka (pelaku)," kata Anton.
Kriminolog dari Universitas Indonesia Adrianus Meliala membenarkan pernyataan Anton. Menurut dia, hubungan simbiosis antara preman dan pejabat telah terjadi sejak lama. Preman membutuhkan orang "kuat" yang bisa melindunginya dari ancaman preman lain. Biasanya dengan dukungan orang kuat itu timbul sifat arogan preman. Maka dia tak segan-segan melibas kelompok lain yang dianggap bermasalah dengannya. Salah satunya seperti yang terjadi pada kasus Basri. "Jangan-jangan ada transaksi," kata Adrianus.
Adrianus boleh menduga seperti itu. Yang jelas, mata sejumlah pihak kini menoleh ke polisi. Apalagi keterlibatan kelompok preman tampak nyata di balik pembunuhan Basri. Boleh jadi, timbul pula pertanyaan. Maukah dan mampukah polisi menguak kasus itu sampai ke akarnya?(YAN/Tim Sigi SCTV)
Petugas hotel baru berani memastikan keadaan setelah gerombolan orang itu pergi. Mereka bergegas menuju kamar 301. Benar saja, sang tamu hotel sudah bersimbah darah. Basri mati di sofa dengan lubang di dada. Adiknya, Ali Sangaji yang berusia 30 tahun merintih. Tangannya nyaris putus, selangkangannya pun terus mengucurkan darah. Kondisi seorang kerabat Basri tak jauh beda. Anyir darah begitu terasa. Jamal Sangaji, 33 tahun, mengerang sambil memegangi tangan kanannya yang sudah tak berjari.
Setelah diotopsi di Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre (MMC), Jaksel, Basri disemayamkan di rumah keluarganya di bilangan Pulomas, Jakarta Timur. Ribuan pelayat pun membanjiri rumah duka. Esok petangnya, Jenazah orang yang dekat dengan calon presiden Wiranto itu kemudian diterbangkan ke Ambon, Maluku.
Jasad Basri kemudian dibawa ke kampung halamannya, Desa Rohomoni, Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah. Keheningan malam pun pecah ketika jenazah Basri datang dan disambut dengan teriakan histeris masyarakat Rohomoni. Malam itu, ratusan warga tumpah-ruah di pinggir pantai Pulau Haruku. Mereka menyambut jenazah Basri dengan kesedihan mendalam. Kematian putra pertama dari pahlawan nasional A.M. Sangaji yang disegani di daerah itu memang membuat warga Maluku berduka.
Tak pelak, kedatangan jasad Basri sempat membuat Negeri Seribu Pulau menjadi panas. Kabar burung pun merebak. Entah siapa yang mengembuskan, anak buah Basri yang sebagian besar "pensiunan" konflik Maluku dikabarkan bakal membalas dendam. Untungnya, polisi cepat tanggap membaca gelagat itu. Kepala Kepolisian Resor Ambon Komisaris Besar Polisi Leonidas Braskan langsung memimpin pengawalan bersama aparat dari TNI dan Polri mulai dari Bandar Udara Pattimura hingga ke kampung halamannya [baca: Jenazah Basri Sangaji Tiba di Ambon].
Pengawalan ketat itu memang wajar. Maklumlah, polisi berupaya keras mengantisipasi terulangnya rentetan peristiwa berdarah yang menelan 1.842 jiwa akibat konflik antaragama di Maluku. Apalagi kerusuhan yang terjadi pada 1998-1999 itu juga diawali bentrokan antarpemuda [baca: Mimpi Buruk Bernama Darurat Sipil]. Tak heran jika aparat yang diturunkan tak sekadar mengawal jenazah. Mereka dibekali dengan senapan. Bahkan jasad Basri pun dibawa dengan mobil militer. Untuk mendinginkan suasana, sejumlah tokoh Maluku juga ikut mengantarkan Basri ke peristirahatan terakhirnya. Di antara pelayat, tampak mantan Gubernur Maluku Saleh Latuconsina. "Kita berharap ini adalah cobaan bagi kita semua, dan almarhum dapat diterima di sisi-Nya," kata Latuconsina [baca: Basri Sangaji Dimakamkan].
Untuk mengantisipasi kerusuhan, polisi juga cepat tanggap dengan kondisi yang kian panas. Meski sejumlah spekulasi seputar kematian Basri masih menimbulkan banyak pertanyaan, polisi bertindak cepat. Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Mathius Salempang yang memimpin penyidikan telah menangkap delapan tersangka [baca: Delapan Tersangka Pembunuh Basri Sangaji Ditangkap]. Mathius juga menetapkan bahwa kasus pembunuhan Basri, murni kriminal [baca: Pembunuh Basri Sangaji Bermotifkan Dendam]. Tersiar kabar, jika pembunuhan Basri berlatar belakang perebutan daerah kekuasaan di Mangga Besar, Jakarta Barat.
Pria bernama lengkap Basri Jala Sangaji adalah pribadi yang penuh warna. Pria berumur 35 tahun itu tak hanya terkenal dalam dunia preman yang keras. Basri juga dikenal dekat dengan sejumlah tokoh, mulai dari pejabat, ulama, hingga dunia hiburan malam. Di mata Ketua Umum Front Pembela Islam Habib Rizieq Shihab, almarhum adalah anak nakal yang manis. Sebutan itu tak lepas dari niat Basri yang ingin mendalami ajaran Islam kepada Rizieq.
Basri Sangaji memang dikenal dekat dengan berbagai kalangan. Tak hanya bermain di dunia keras dan hiburan malam, warga Jalan Pangkal Raya Nomor 3, Pela Mampang, Jaksel itu juga terjun ke dalam kancah politik. Sepak terjangnya di dunia politik dimulai sejak terlibat dalam terbentuknya pengamanan swakarsa (Pam Swakarsa) pada 1998. Terakhir, dia juga aktif menjadi anggota tim sukses calon presiden dari Partai Golongan Karya, Wiranto dan Salahuddin Wahid pada pemilihan presiden putaran pertama, Juli silam.
Nama Basri Sangaji juga pernah menghiasi media massa nasional pada pertengahan 2002 ketika terlibat konflik dengan kelompok John Key. Selain itu, Basri juga diduga terlibat dalam kerusuhan di Ketapang, Jakarta Pusat, akhir November 1998. Tetapi keterlibatan Basri di Ketapang dibantah oleh Habib Rizieq.
Menelisik masa silam Basri Sangaji ibarat membuka lembaran album foto kerasnya dunia preman. Dia diduga kuat banyak bersinggungan dengan dunia hitam. Tak heran jika Basri ditengarai memiliki banyak musuh. Salah satunya adalah John Key, salah seorang pimpinan geng yang pernah berseteru dengannya [baca: Kepolisian Tak Terpengaruh Desakan Kelompok Hercules dan Basri]. John Key mengakui delapan tersangka pembunuh Basri adalah anak buahnya. Dia juga mengaku dendam pada Basri yang dituduhnya telah membunuh saudaranya, lima tahun silam. Namun Basri lolos dari jeratan hukum karena saat itu diduga berhubungan dekat dengan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Mayor Jenderal Polisi Noegroho Djajoesman.
Selain dengan John Key, Basri juga pernah bentrok dengan kelompok penguasa Tanahabang, Jakpus, pimpinan Hercules. Hercules juga menyatakan, Basri Sangaji mempunyai banyak musuh, dan ia adalah salah satunya. Dia mengaku pernah berteman baik dengan korban, namun masalah bisnis penagihan utang telah memisahkan persahabatan mereka.
Entah karena hati-hati atau karena sebab lain, yang pasti hingga kini polisi tidak menangkap John Key. Padahal, keluarga Basri berkeras meminta polisi membekuk John Key. Salah satu keluarga yang menuding John Key sebagai otak pembunuh Basri adalah Basri Moni, paman korban. Apalagi keponakannya itu pernah terlibat konflik dengan John Key di Diskotek Hailai, Ancol, Jakarta Utara dan Diskotek Stadium di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Barat pada 2002 [baca: Diskotek Stadium Diserang, Dua Orang Tewas].
Anton Medan yang telah lama pensiun dari dunia preman pun angkat bicara. Menurut dia, pembunuhan Basri memang berlatar dendam. Pelaku diperkirakan putus asa karena pengaduannya ke polisi tidak pernah digubris. Tak heran jika kemudian si pelaku "membereskan" sendiri masalah tersebut. "Dilaporkan ke polisi beberapa kali, hingga masa pembunuhan [karena] tidak ditanggapi," kata Anton di Studio Liputan 6 SCTV, Jakarta, malam tadi.
Lebih lanjut Anton menjelaskan, buntunya pengungkapan pelaku pembunuhan Basri karena kasus ini melibatkan konspirasi tingkat tinggi. Menurut Anton, pelaku diperkirakan mempunyai backing yang cukup kuat sehingga polisi tidak berkutik. Pelindung si pelaku diperkirakan berasal dari kalangan pejabat. "Sebenarnya yang dipakai itu orang-orang yang punya nama," ungkap Anton.
Di sinilah terungkap bahwa antara preman dan sejumlah pejabat mempunyai hubungan saling menguntungkan. Menurut Anton, pejabat membutuhkan preman untuk mempermudah pekerjaannya. Contohnya, penggusuran tanah. Dengan bantuan "pendekar", bisa dipastikan penggusuran tanah bisa dilakukan. Mereka juga membutuhkan preman ketika kekuasaannya terancam oleh aksi massa. Saat itulah sosok preman dimajukan. Sementara preman membutuhkan pejabat untuk melindunginya dari cengkeraman polisi. Tak mengherankan, bila kasus pembunuhan Basri belum menemui titik terang.
Dalang di balik pembunuhan Basri seharusnya tak sulit untuk dibongkar. Karena peristiwa itu menyimpan dua saksi mata yang turut menjadi korban. Mereka adalah Ali Sangaji dan Jamal Sangaji. Kedua adik korban juga mengaku mengenal kelompok yang menyerbu mereka. Selain itu, sejumlah barang bukti juga ditemukan di lokasi kejadian. Kuat dugaan saat kejadian, paling tidak ada dua senjata api yang menyalak. Salah satunya pistol berizin dengan peluru karet milik korban. Sedangkan satunya berasal dari bukti selongsong dan satu butir peluru kaliber sembilan milimeter.
Nah, untuk mengurai benang kusut itu, Anton menyarankan kepada polisi untuk lebih berani. Menurut Anton, premanisme memang tidak bisa dihapuskan. Namun bukan berarti tidak bisa dikurangi. "Sekarang tinggal bagaimana aparat, mencari hukum yang tepat untuk menjerat mereka (pelaku)," kata Anton.
Kriminolog dari Universitas Indonesia Adrianus Meliala membenarkan pernyataan Anton. Menurut dia, hubungan simbiosis antara preman dan pejabat telah terjadi sejak lama. Preman membutuhkan orang "kuat" yang bisa melindunginya dari ancaman preman lain. Biasanya dengan dukungan orang kuat itu timbul sifat arogan preman. Maka dia tak segan-segan melibas kelompok lain yang dianggap bermasalah dengannya. Salah satunya seperti yang terjadi pada kasus Basri. "Jangan-jangan ada transaksi," kata Adrianus.
Adrianus boleh menduga seperti itu. Yang jelas, mata sejumlah pihak kini menoleh ke polisi. Apalagi keterlibatan kelompok preman tampak nyata di balik pembunuhan Basri. Boleh jadi, timbul pula pertanyaan. Maukah dan mampukah polisi menguak kasus itu sampai ke akarnya?(YAN/Tim Sigi SCTV)