Matinya Seorang Pejagal

Dalam posisi duduk dan mata ditutup kain, Astini ditembak tepat di bagian jantung oleh personel regu tembak Brimob Polda Jatim. Astini dieksekusi setelah permohonan grasinya ditolak presiden.

oleh Liputan6 diperbarui 29 Mar 2005, 21:46 WIB
Liputan6.com, Surabaya: Astini menanti maut. Dalam posisi duduk, matanya ditutup kain. Di depannya, hanya berjarak lima meter, 12 personel regu tembak Brigade Mobil Kepolisian Daerah Jawa Timur bersiap menembak. Dan sekejap setelah aba-aba dinyatakan, dor, jantung Astini tertembus enam peluru.

Astini beringsut, terkulai, kemudian tak bernyawa. Terpidana kasus pembunuhan tiga wanita dengan cara mutilasi itu menemui ajal, Ahad (20/3) sekitar pukul 01.20 WIB. Tak diketahui pasti di mana perempuan itu dieksekusi. Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya AF Darmawan hanya mengatakan Astini dibawa ke sebuah lapangan [baca: Astini Dieksekusi].

Jasad Astini lalu dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah dokter Soetomo Surabaya, Jatim, untuk diotopsi. Keluarga Puji Astutik, salah satu korban Astini, mengaku puas setelah mengetahui Astini dieksekusi, meski itu pihak keluarga Puji harus menunggu sembilan tahun lamanya. "Saya sudah senang, saya sudah puas," kata Suharti, ibu Puji Astutik.

Sembilan tahun bukan waktu yang singkat bagi keluarga korban perbuatan Astini. Tak hanya membunuh, Astini juga memotong-motong tubuh korbannya. Sembilan tahun lalu, warga Kampung Wonorejo, Surabaya, dibuat gempar oleh penemuan potongan kepala dalam sebuah kantong plastik di Sungai Wonorejo.

Penemuan potongan kepala itu segera dilaporkan warga ke Kepolisian Sektor Kota Tegalsari. Selanjutnya potongan kepala diserahkan ke kamar jenazah RSUD dokter Soetomo. Berita penemuan potongan kepala ini kemudian didengar Agus Purwanto, warga Kampung Malang, Surabaya. Saat itu, Agus mengaku kehilangan kakak perempuannya bernama Puji Astutik. Agus kemudian mendatangi kamar mayat dan mengenali potongan kepala itu sebagai kepala kakaknya.

Polisi segera bertindak. Berdasarkan keterangan sejumlah saksi, diketahui korban sempat terlihat masuk ke rumah Astini di Kampung Malang. Antara korban dan Astini memang bertetangga. Astini lalu segera ditangkap. Di hadapan polisi, Astini mengaku membunuh korban. Kejadiannya pada bulan Februari 1996. Saat itu sekitar pukul 16.00 WIB. Puji Astutik datang ke rumah Astini untuk menagih utang senilai Rp 20.000. Namun Astini belum dapat melunasi utang. Kontan Puji marah dan mengeluarkan rangkaian kata kasar yang menjelek-jelekkan Astini. Dimaki-maki Puji, Astini emosi.

Ibu tiga anak itu lalu meraih sepotong besi dan menghantamkannya ke kepala Puji. Sesudah korban tewas, Astini menyeret jasad Puji ke dapur dan menutup mayat korban dengan tikar. Sekitar pukul 02.00 WIB, tubuh korban dipotong-potong sebanyak sepuluh bagian. Potongan tubuh itu lalu dimasukkan ke kantong plastik. Astini kemudian membuangnya ke sejumlah tempat sampah dan sungai di Surabaya.

Di hadapan polisi, Astini juga mengaku telah membunuh Rahayu dan Sri Astutik, dua tetangga lainnya. Pengakuan Astini menguak misteri hilangnya dua warga Kampung Malang itu. Ibu Sukur atau Rahayu yang mempunyai piutang sebesar Rp 1.250.000 dibunuh Astini pada Agustus 1992. Sri Astutik Wijaya yang dibunuh pada 1 November 1993 juga karena urusan piutang sebesar Rp 250 ribu dan Rp 300 ribu. Kedua korban dibunuh dengan dalih sama: Astini tersinggung saat ditagih utang dengan kata-kata kasar. Astini juga mengaku tubuh para korban dipotong menjadi sepuluh bagian.

Pada 17 Oktober 1996, Astini divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Surabaya. Astini lalu mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jatim. Selama menunggu putusan banding, Astini ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Sukun Malang, Jatim. Pada Januari 1997, Pengadilan Tinggi Jatim menguatkan putusan PN Surabaya.

Namun, Astini terus berupaya menghindar dari vonis. Perempuan itu lalu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Tapi putusan MA pada Juni 1997 ternyata menguatkan kedua putusan sebelumnya. Astini pantang menyerah. Ia mengajukan peninjauan kembali ke MA. Hasilnya tetap sama: hukuman mati. Grasi menjadi harapan terakhir Astini. Langkah hukum itu pun diajukan dan pada 2004 permohonan grasi Astini ditolak presiden. Upaya Astini untuk bertahan hidup akhirnya kandas. Astini harus menjalani eksekusi mati.

Tapi, sebelum eksekusi, Astini dipindahkan dari LP Sukun Malang ke Rutan Medaeng, Sidoarjo, untuk menjalani masa isolasi selama lima hari dari 15-19 Maret 2005. Selama menjalani masa isolasi Astini sempat dijenguk Supilin, suaminya, dan beberapa orang anaknya. Astini meminta kepada anak-anaknya agar meningkatkan ibadah dan selalu mendoakan dirinya yang akan meninggalkan mereka untuk selama-lamanya. Pihak Kejari Surabaya juga sempat menulis tiga permintaan terakhir Astini [baca: Permintaan Terakhir Astini Terpenuhi].

Hari eksekusi kemudian diberitahukan secara langsung oleh Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Surabaya Pratikto, SH. Sebab, salah satu aturan pelaksanaan pidana mati adalah jaksa harus memberitahu terpidana selama 3 x 24 jam sebelum pelaksanaan pidana mati. Setelah dieksekusi, jenazah Astini dikuburkan di tempat pemakaman umum Pemerintah Kota Surabaya di Wonokusumo Kidul, Surabaya. Ini sesuai permintaan keluarga Astini agar pemerintah yang mengurus pemakamannya.(MAK/Tim Liputan 6 SCTV)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya