Sukses

Thailand Ricuh, Investor Asing Pilih Kabur ke Indonesia

Kisruh politik di Thailand yang telah berlangsung sejak akhir tahun lalu membuat para investor global cemas.

Liputan6.com, Singapura Kisruh politik di Thailand yang telah berlangsung sejak akhir tahun lalu membuat para investor global cemas dan enggan membenamkan modalnya di sana. Sebaliknya, Kepala Peneliti Ekonomi Negara Berkembang di Bank of America Merrill Lynch Chua Hak Bin mengatakan, para investor asing akan lebih membidik Indonesia dan Filipina sebagai target investasinya.

"Jika Anda berinvestasi di Indonesia atau Thailand lima tahun lalu, Anda akan memperoleh keuntungan hingga tiga kali lipat dari investasi Anda, begitu juga di Filipina. Tiga negara tersebut merupakan pasar terbaik di Asia. Tapi sekarang situasinya sudah berubah," tutur Chua seperti dikutip dari The Nation, Sabtu (1/3/2014).

Dia mengungkapkan, saat ini Thailand tak lagi menjadi pasar yang menarik bagi para investor. Maklum, situasi politik yang tengah memanas di Thailand sulit dipahami para investor asing.

"Merek khawatir politik yang tidak stabil dapat mengurangi keuntungan investasinya secara drastis," ujarnya.

Ekonom di unit bank yang berbasis di Singapura itu juga menilai krisis politik di suatu negara dapat menyebabkan pemerintah tidak berfungsi dengan baik.

Menurut dia, terdapat tiga faktor utama yang membuat proyeksi Indonesia jauh lebih baik dibandingkan Thailand. Ketiga faktor tersebut adalah stabilitas politik, tingkat utang yang rendah, dan pasar tenaga kerja yang membaik.

Sejauh ini, pasar modal Indonesia telah menguat sebesar 7%, sementara bursa Thailand masih bergerak mendatar. Meskipun pemilihan umum akan digelar pada April dan Juli tahun ini, tetapi Chua tak melihat adanya potensi kekacauan politik seperti yang dialami Thailand.

"Faktor berikutnya adalah neraca ekonomi negara. Pinjaman Indonesia tercatat sangat rendah sekarang," ulasnya.

Dia memprediksi Thailand berhadapan dengan utang rumah tangga yang membengkak. Sementara itu, kredit lokal Thailand masih berjumlah 103,7% dari produk domestik bruto (PDB) sementara Indonesia mencatatkan jumlah yang jauh lebih rendah yaitu 36,6% dari PBD.