Liputan6.com, Jakarta Sempat menuai protes keras dari pengusaha tambang terkait pengenaan bea keluar (BK) progresif mineral olahan, akhirnya pemerintah memperlonggar kebijakan tersebut. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengaku tengah menggodok besaran revisi BK.
"Kami sedang merumuskan besaran persisnya (BK) dengan tim Kemenkeu dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)," ungkap Wakil Menteri Keuangan, Bambang PS Brodjonegoro kepada wartawan di Jakarta, Selasa (4/3/2014).
Sebelumnya pemerintah memberlakukan BK progresif bagi mineral olahan sampai dengan awal 2017. "Pemberlakuan pelonggaran (BK) sampai periode 2017 dan berlaku untuk semua jenis mineral yang belum pemurnian," ujar Bambang.
Pelonggaran diberikan, tambah Bambang karena melihat kesungguhan pembangunan pabrik pemurnian (smelter) dari perusahaan-perusahaan tambang. Hal ini juga yang dilakukan PT Freeport Indonesia yang sedang menggarap studi kelayakan pembangunan smelter bersama PT Aneka Tambang Tbk (Antam).
"Karena ada kesungguhan membangun smelter, jadi kami kasih. Tentu dengan studi kelayakan yang jelas dan jaminan kesungguhan," tandas Bambang.
Pemerintah telah merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/PMK.011/2014 pada 11 Januari 2014. Beleid ini mengatur perubahan kedua atas PMK Nomor 75/PMK/011/2012 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan BK dan tarif BK.
Dalam regulasi baru tersebut, bea keluar tembaga naik dari 20% menjadi 25% pada 2014, kemudian naik menjadi 35%-40% pada 2015 serta 50%-60% pada 2016.
Serius Bangun Smelter, Pemerintah Perlonggar Bea Keluar Mineral Olahan
Kementerian Keuangan sedang menggodok revisi besaran bea keluar (BK) progresif mineral olahan.
Advertisement