Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Australia dengan tegas menolak pengajuan pinjaman maskapai Qantas senilai US$ 2,7 miliar atau setara Rp 31,26 triliun. Saat ini, Qantas memang tengah menderita kerugian besar sampai pihaknya mengatakan akan memecat 5.000 pegawainya.
Seperti dikutip dari BBC News, Rabu (5/3/2014), Perdana Menteri Australia Tony Abbot mengatakan, pemerintah berencana untuk mengubah sejumlah peraturan yang menyulitkan masuknya investasi asing.
Namun, Abbot belum berhasil membujuk dan memperoleh dukungan dari para senator dari partai opisisi. Pihak oposisi bersikeras, langkah Abbot itu justru bisa lebih banyak menyediakan lapangan pekerjaan di luar negeri.
Pekan lalu, Qantas melaporkan telah menderita kerugian hingga US$ 225 juta dan mengatakan akan memecat 5.000 pegawainya.
"Kami telah mengirim sejumlah ahli untuk meneliti apa yang tengah menimpa Qantas dan kami hanya mengikuti nasehat para ahli tersebut bahwa Qantas tidak memerlukan fasilitas pinjaman dari pemerintah," ungkap Abbot dalam sebuah wawancara dengan radio lokal.
Menurut peraturan yang berlaku sejak 1990-an saat Qantas diprivatisasi, kepemilikan saham asing di maskapai tersebut harus berjumlah 49%. Sementara sejumlah maskapai asing hanya boleh memiliki 35% saham di Australia.
Qantas mengungkapkan, peraturan tersebut mengganggu pertumbuhan bisnisnya. Untuk diketahui, pemerintah Australia memperoleh masukan dan saran dari perusahaan konsultan PricewaterhouseCooper.
Pemerintah Australia Tolak Pinjaman Qantas Senilai Rp 31 Triliun
Pemerintah Australia menolak pengajuan pinjaman maskapai Qantas senilai US$ 2,7 miliar atau setara Rp 31,26 triliun.
Advertisement