Liputan6.com, Kuta - Para buruh diminta untuk tidak selalu menuntut kenaikan upah tiap tahunnya. Jika hal tersebut terus dilakukan, maka tenaga kerja dalam negeri terancam semakin sulit mendapatkan pekerjaan saat berlangsungnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MAE) 2015.
Kepala Badan Pengkajian Kebijakan dan Mutu Industri (BPKIMI) Kementerian Perindustrian, Arryanto Sagala mengatakan, jika dibandingkan dengan tenaga kerja asal Vietnam, upah tenaga kerja di Indonesia jauh lebih tinggi. Namun justru produktivitas tenaga kerja asal Vietnam ini jauh baik.
"Kalau tenaga kerja di Vietnam, pada sektor garmen misalnya, mereka bisa menghasilkan 8 celana per hari dengan 44 jam kerja per minggu. Mereka hanya dibayar sekitar US$ 65. Sedangkan kita, yang hanya mampu menghasilkan 6 celana per hari dengan waktu kerja 40 jam per minggu, mintanya di atas US$ 220," ujar Arryanto, usai Workshop Pendalaman Kebijakan Industri untuk Wartawan di Kuta, Bali, Jumat (14/3/2014).
Advertisement
Dengan kondisi seperti ini, lanjut Arryanto, otomatis para investor yang hendak menanamkan modalnya di Indonesia akan berpikir dua kali. Investor akan memilih negara dengan tingkat upah tenaga kerjanya lebih rendah guna menekan biaya produksi.
"Sekarang kalau investor dari Jepang atau Korea, mau menanamkan investasi, ya pasti akan lebih milih Vietnam, sudah upahnya lebih rendah, listrik lebih murah. Ini jelas jadi ancaman buat kita," lanjutnya.
Oleh sebab itu, dirinya meminta agar para tenaga kerja dalam negeri ini untuk tidak banyak menuntut kenaikan upah sehingga membuat iklim investasi di Indonesia menjadi kondusif. "Tenaga kerja kita banyak menuntut, mereka minta kenaikan upah tiap tahun," tandasnya.