Liputan6.com, Jakarta Guna mencegah praktik korupsi, pemerintah menjajaki kemungkinan untuk menerbitkan aturan yang membatasi jumlah uang tunai yang bisa dibawa seseorang. Saat ini aturan tentang Cros Border Cash Carrying (CBCC)Â atau Laporan Pembawaan Uang Tunai (LPUT) sedang dikaji pemerintah.
"Uang asing dalam pecahan besar saat ini menjadi salah satu alat suap yang semakin banyak digunakan koruptor," kata Kepala Kepala Pusat Pelaporan dan Anilisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhamad Yusuf seperti dikutip dari laman Sekretariat Kabinet, Rabu (19/3/2014).
Dia menduga, penggunaan transaksi tunai pada lapisan masyarakat diduga antara lain untuk maksud mempersulit upaya pelacakan asal-usul sumber dana yang diduga berasal dari tindak pidana, atau dengan maksud memutus pelacakan aliran dana kepada pihak penerima dana.
Ia lantas memberi contoh kasus Gayus Tambunan. Amir Syarifuddin Tambunan, ayahanda terdakwa Gayus mengaku pernah menitipkan uang kepada anaknya pada sekitar tahun 2009. Besarannya mencapai 10 juta dolar Singapura dan 1 juta dolar AS. Dengan pecahan sebesar itu, dengan merujuk pada nilai tukar saat ini (1 SGD=Rp 9.700), seseorang bisa membawa Rp 97 juta hanya dalam 1 lembar kertas dolar Singapura.
Penerbitan aturan CBCC baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) ataupun Peraturan Presiden (Perpres), kata Yusuf, diharapkan akan memberi kewenangan kepada petugas bea cukai untuk melakukan tindakan fisik, termasuk menggeledah setiap orang yang dicurigai PPATK. Asumsinya, uang-uang tersebut bisa digunakan untuk suap.
Mengenai cara membatasi pembawaan uang tunai, Yusuf mencontohkan, misalnya orang yang menukarkan 10 ribu dolar Singapura perlu dimintakan Kartu Keluarga (KK) atau Kartu Tanda Penduduk (KTP), bisa juga meminta rekomendasi atasan.
“Dengan demikian, bisa diketahui apakah orang ini wajar menukarkan uang sebanyak itu, apakah ia relevan mempunyai uang sebanyak itu," terang Yusuf.