Liputan6.com, Jakarta Pengusaha menyebut biaya mendapatkan sertifikasi Standar Nasional Indonesai (SNI) masih terbilang mahal, terutama bagi industri skala kecil menengah (IKM). Hal ini juga yang dinilai proses penerapan SNI pada produk Indonesia tidak berjalan dengan cepat.
Wakil Ketua Kadin Bidang Standarisasi dan Kualitas Produk Achmad Widjaya mengatakan biaya untuk mendapatkan sertifikasi SNI ini tergantung pada sektor produk. Bahkan bagi produk impor, biayanya jauh lebih mahal.
"Per sektor, itu tergantung. Kalau dia impor dari luar negeri, itu cost-nya bisa sampai US$ 10 ribu. Kalau produk lokal Rp 10 juta-Rp 15 juta (biaya administratif). Kemudian pengecekan lain lagi di balai-balai itu sendiri. Totalnya sekitar Rp 40 juta-Rp 50 juta untuk mendapatkan satu sertifikasi. Kalau di kalangan pengusaha, itu terlalu mahal. Makanya balai-balai semua harus dipercepat," ujar dia di Jakarta, Kamis (20/3/2014).
Meski demikian, Achmad mengaku sebagian pemberian SNI produk industri lokal sudah ditangani Kadin, sehingga biaya sertifikasi SNI untuk produk ini hampir tidak ada.
"Kalau domestic manufacturing, semua biayanya hampir tidak ada, karena hanya proses administrasi. Tapi kalau impor,sengaja memang high cost. Kalau tidak, kan industri nasional terganggu," lanjut dia.
Saat ini asosiasi tengah fokus untuk memperbaiki dan mendapatkan standar untuk sektor makanan minuman dan produk pertanian. Hal ini karena sektor ini paling mudah diserang dari produk asing.
"Karena kalau makanan dan minuman kan gampang diserang seperti snack dan lain-lain. Di BSN (Badan Standarisasi Nasional) sekarang sudah terdaftar sekitar 5 ribu standarisasi. Selain itu, juga ada produk industri keramik, kaca lembaran dan sebagainya. Tapi pangan nomor satu," tandasnya.
Mahal, Penyebab Pengusaha Masih Enggan Daftarkan SNI Produknya
Pengusaha menyebut biaya mendapatkan sertifikasi Standar Nasional Indonesai (SNI) masih terbilang mahal.
Advertisement