Liputan6.com, Jakarta Sejak lengsernya Mantan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 atau hampir 16 tahun silam, ternyata tak ada kilang minyak baru yang berdiri di Tanah Air. Kilang terakhir yang dibangun di Indonesia yaitu kilang Balongan pada 1994.
Apa penyebabnya?
Menurut Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Rinaldy Dalimi, ada dua pertimbangan sebelum sebuah kilang dibangun. Pertama, pertimbangan ekonomi dan selanjutnya pertimbangan strategis.
Pada era pemerintahan Soeharto, lanjut Rinaldy, produksi minyak Indonesia sedang berada di masa keemasan. Saat itu setiap harinya, sekitar 1,6 juta barel minyak dikeruk dari perut bumi.
"Saat itu minyak sedang booming. Berapapun biaya pembangunan kilang dibayar karena pertimbangan strategis yang dipakai," kata Rinaldy saat berbincang dengan Liputan6.com, Selasa (25/3/2014).
Berbeda dengan kondisi saat ini, pertimbangan ekonomi lebih dominan dibandingkan strategis. Para investor cenderung lebih senang menginvestasikan uangnya di sektor hulu minyak (upstream) ketimbang membangun kilang pengolahan minyak menjadi bahan bakar minyak (BBM).
"Untungnya menambang minyak lebih menggiurkan daripada bangun kilang. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah harus turun tangan dengan memberikan insentif," ungkap Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI) itu.
Dia menilai para investor baru berminat membangun kilang jika ada industri hilir seperti petrokimia disiapkan. Industri hilir ini penting untuk menyerap produk sampingan dari kilang itu.
"Kalau industri hilirnya yang ada, itu menarik. Investor bisa dapat untung lebih besar dibanding bisnis di upstream," terang dia.
Rinaldy menuturkan, pembangunan kilang di Tanah Air sangat dibutuhkan mengingat terus meningkatnya konsumsi BBM di dalam negeri. Keberadaan kilang tersebut juga demi menjamin ketahanan energi jangka panjang agar Indonesia tidak terlalu bergantung pada BBM impor.
Â
Setidaknya, Indonesia membutuhkan tiga kilang baru dengan kapasitas masing 300 ribu barel per hari (bph). "Langkah ini juga harus disertai pengembangan energi alternatif seperti biofuel dan bahan bakar gas (BBG)," ungkapnya.
Pengamat dari Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menyatakan, pembangunan kilang merupakan tugas negara karena berkaitan dengan ketahanan energi. Dari sisi keekonomian, proyek kilang memang tidak menguntungkan jika dibandingkan bisnis hulu migas.
"Karena IRR (internal rate of return/balik modal) kecil, maka itu jadi tugas pemerintah," terang dia.
Advertisement
Jika pemerintah tidak bisa menjalankan fungsinya, barulah gandeng investor swasta. Namun, swasta baru berminat masuk jika proyek itu menguntungkan. Oleh karena itu, dibutuhkan insentif berupa pemotongan pajak dan keringanan lainnya.
"Tapi masalahnya Kementerian Keuangan itu punya target setoran pajak, kalau kasih insentif pajak, setoran berkurang. Ini bukti kurangnya koordinasi antar instansi," paparnya.
Baca juga:
Sejak Soeharto Lengser, Tak Ada Kilang Minyak Dibangun di RI