Liputan6.com, Jakarta Pengamat Pertanian, Khudori menilai kenaikan harga cabai rawit merah hingga Rp 100 ribu per kilogram (kg) bukan saja dipicu karena pasokan yang menipis, tapi juga permainan harga dari pedagang besar di tingkat Kabupaten/Provinsi.
Dia mengakui, paska bencana banjir dan meletusnya Gunung Kelud mengakibatkan sentra-sentra produksi cabai di Jawa Timur (Jatim) dan Jawa Tengah mengalami gagal panen.
"Pasokan berkurang dan tentu harga akan naik, karena Kelud tidak hanya merusak lahan di Jatim, tapi semburan abu vulkanik panas juga mengenai daerah di Jateng jadi gagal panen. Kalaupun mereka memaksa panen, pasti kualitasnya turun," jelas dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Jumat (4/4/2014).
Selain itu, kata Khudori, air rob di awal bulan lalu meratakan lahan persawahan sentra produksi cabai sehingga petani terpaksa kembali menanamnya setelah banjir surut.
"Ada kemunduran masa panen, yang tadinya Februari bisa panen tapi karena banjir terpaksa mundur di Mei karena mereka harus tanam baru," terang dia.
Alasan lain dari meroketnya harga cabai, tambah dia, karena ada segelintir pedagang besar yang menguasai jaringan distribusi komoditas pertanian berbuat curang untuk memperkaya diri sendiri.
"Dari petani biasanya ke pedagang pengepul, lalu ada pedagang yang menguasai jaringan distribusi di tingkat Kabupaten/Provinsi yang memasok ke beberapa pasar besar di daerah. Dia tahu situasi di lapangan, psikologis pemerintah sehingga memanfaatkan kondisi itu untuk meraih marjin tinggi," paparnya.
Khudori mengaku pedagang besar sangat mungkin melakukan permainan harga karena pemerintah tak mempunyai kontrol untuk mengatasi persoalan tersebut.
"Tidak mudah memutus rantai jaringan distribusi ini, karena pemerintah harus punya data untuk memonitor harga, mendeteksi adakah permainan atau pergerakan barang, sentra produksi kapan panen, dan lainnya," tandas dia.