Liputan6.com, Jakarta Catatan impor produk hortikultura dari China ke Indonesia terus berlangsung setiap bulan. Hal ini tercermin dari laporan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan Negeri Tirai Bambu itu menjadi pemasok terbesar produk sayuran dan buah-buahan ke Indonesia.
Dari data BPS yang diterima Liputan6.com, nilai impor sayuran dari China ke negara ini tercatat US$ 52,19 juta sepanjang Januari-Februari 2014. Realisasi tersebut jauh melampaui Myanmar dan Thailand yang memasok sayuran senilai US$ 6,45 juta dan US$ 5,63 juta.
Jumlah impor dari China paling dominan dari total impor sayuran yang mencapai US$ 81,12 juta. Bahkan ironisnya, Indonesia juga mengimpor sayuran dari Ethiopia, yakni salah satu negara termiskin di dunia. Nilai impornya sebesar US$ 2,43 juta pada Januari-Februari ini.
Sementara itu, dari total keseluruhan impor buah-buahan Indonesia ke beberapa negara sebesar US$ 116,22 juta di dua bulan pertama ini, terbesar berasal dari China dengan nilai impor US$ 81,97 juta. Selanjutnya disusul Amerika Serikat (AS) senilai US$ 10,55 juta dan Thailand US$ 6,57 juta.
Menurut Pengamat Pertanian, Khudori, ketergantungan Indonesia terhadap impor sayur dan buah termasuk dari China mencerminkan kinerja produksi hortikultura di negara ini yang tidak bagus.  Â
"Halangan bagi Indonesia untuk mengimpor sudah tidak banyak, dan bea masuk ditekan sangat rendah setelah adanya perjanjian bilateral perdagangan (The ASEAN Free Trade Area/AFTA) dengan China pada 2010," ujar Khudori saat berbincang dengan Liputan6.com, seperti ditulis Minggu (6/4/2014).
Dia menyoroti neraca perdagangan di sektor pertanian (pangan, hortikultura) dan peternakan terus mengalami kenaikan impor. Pemerintah, menurut Khudori berdalih bahwa impor tersebut digunakan untuk mengisi kekosongan produksi pertanian dan peternakan domestik.
"Dari sisi luas lahan pertanian per kapita kita dengan China, Thailand, Vietnam dan India memang jauh tertinggal. Tapi kita lebih baik dari Malaysia dan Filipina," jelasnya.
Meski demikian, luas lahan pertanian dan peternakan tentu menjadi indikator seberapa besar kemampuan sebuah negara bisa memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.
"Semakin sempit luas lahan per kapita, semakin kecil produksi pangan dan peternakan yang bisa dihasilkan," tandas Khudori.Â