Sukses

Ini Bukan Waktu yang Tepat Tarik Royalti Batu Bara

Pemerintah berencana menaikan royalti batu bara untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah berencana menaikan royalti batu bara untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP), melalui revisi revisi Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Dalam rancangan perubahan PP tersebut, royalti batu bara untuk IUP naik menjadi 10%-13,5%. Langkah pemerintah tersebut dinilai tidak tepat waktu. Sebab rencana tersebut dilakukan saat harga batu bara sedang anjlok.

Banyak perusahaan batu bara  saat ini yang memiliki harga jual jauh lebih rendah dari biaya pokok produksi.

Hal tersebut disampaikan Budi Santoso, Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan (Perhapi), Senin (7/4/2014).

Menurutnya, dampak yang dirasakan akibat rencana kenaikan tersebut mengakibatkan kenaikan jumlah masyarakat yang akan kehilangan pekerjaan, karena perusahaan tidak bisa beroperasi lagi.

Usaha pendukung kegiatan pertambanganpun ikut terseret dampaknya. Kontraktor maupun penyedia jasa lainnya. Karena itu, kebijakan ini tidak pro poor dan pro job seperti yang selalu didengungkan pemerintah.   

Dia mencontohkan, untuk perusahaan batu bara dengan GAR 3.500, biaya pokok produksinya mencapai US$ 33-35 per ton.

Sementara harga batu bara US$ 20 per ton. Padahal, pengusaha batu bara baru bisa meraup untung atau ekonomis, jika harga batu bara dengan kadar tersebut dijual pada kisaran harga US$ 40-US$ 45/ton.

Dia menilai keinginan pemerintah menaikan royalti batu bara IUP tersebut merupakan upaya  kompensasi atas pendapatan negara yang hilang akibat kebijakan hilirisasi dan pelarangan ekspor mineral.

“Pemerintah berupaya melakukan improvisasi atas kompensasi mineral. Tapi ini (improvisasi) yang salah,” ungkapnya.

Pemerintah , lanjut dia, hanya melihat dari sudut pandang pendapatan negara dengan cara menaikan royalti.

Padahal, seharusnya tidak hanya melihat dari sisi pendapatan negara tetapi harus dilihat dari manfaat ekonomi dan efek ganda dari kegiatan usaha pertambangan batu bara.

“Jangankan dinaikan (13,5%) setara PKP2B, yang 7% saja masih banyak pengusaha yang harus gulung tikar,” imbuhnya lagi.

Selain karena panik akibat pendapatan negara yang tergerus dari sektor mineral, kebijakan ini juga  karena ada kesalahan pandangan terkait batu bara.

Di mana komoditas ini hanya dipandang hanya  sebagai komoditi pertambangan semata. Padahal, batubara adalah sumber energi.Dan merupakan sumber energi yang murah dibandingkan dengan minyak .

Karena itu, seharusnya yang dikedepankan adalah pemanfaatannya. Selama ini, dalam konsep royalti 13,5%,  ada kebijakan 40%-50% untuk pengembangan pemanfaatan batu bara. Tetapi selama ini hal tersebut tidak dilakukan pemerintah.

Jika keinginanan pemerintah ingin melakukan konservasi sumber daya batubara dengan menaikan royalti maka langkah tersebut tidak tepat.

Sebab dengan menaikan royalti, maka biaya juga akan naik. Dengan  biaya produksi yang naik, maka striping ratio akan turun, batu bara yang diambil akan sedikit.

Ia mencontohkan, jika ada  100 juta ton cadangan, maka cadanga yang bisa diambil minimal 75 juta ton. Tetapi jika dengan penaikan royalti 13,5%, maka cadangan yang bisa diambil hanya 50-60 juta ton. Dan sisa cadangan tidak bisa diambil, sebab tidak ekonomis.

“Jadi jangan berpikir bahwa cadangan tersisa masih banyak sehingga dari sisi konservasi akan bagus. Itu (cadangan sisa) juga tidak bisa ditambang, tidak ekonomis apalagi kalau harganya masih seperti sekarang ini,” terangnya.

Dengan kenaikan rolyati batubara untuk IUP 13,5%, justru kondisi ini akan semakin melemahkan pendapatan negara dari sektor pertambangan.

Setelah sebelumnya kebijakan pertambangan mineral menggerus pendapatan negara dan menyebabkan ribuan warga negara kehilangan pekerjaan, kini ditambah lagi batu bara.  “Kondisi negara ya, lemah dan bertambah lemah,” ucapnya.

Sementara itu, Presiden Direktur Reswara, Harry Asmar mengatakan, motif pemerintah menaikan royalti dan berharap terjadi peningkatan pendapatan negara bukan pajak, akan bersebrangan dengan kenyataan di lapangan.

Sebab yang terjadi justru pemerintah akan disibukan dengan persoalan baru yakni meningkatnya jumlah penangguran.

“Karena adanya PHK, kerusuhan akan terjadi, dan tambang illegal juga akan semakin marak,” ungkapnya.

Selain itu, industri ikutan yang selalu menyertai dalam setiap kegiatan industri pertambangan juga bisa tutup.

Belum lagi, di beberapa daerah, pemerintah setempat juga mengeluarkan aturan yang serupa. Ia mencontohkan di Aceh, tempat salah satu unit usaha Reswara, Mifa Bersaudara beroperasi.

Di Serambi Mekah ini, pemda mengeluarkan qanun (Perda) royalti sebesar 5%- 6% dan dana jaminan 2%.

“Aceh yang baru dan sedang berkembang industri batubaranya juga  nggak jadi,” tandas dia.

Video Terkini