Sukses

Sebelum Lengser, SBY Ditantang Naikkan Harga BBM

Tingginya impor BBM telah menyebabkan melebarnya defisit neraca transaksi berjalan Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta Tingginya impor bahan bakar minyak (BBM) telah menyebabkan melebarnya defisit neraca transaksi berjalan Indonesia. Untuk itu, pemerintah dinilai wajib menaikkan harga BBM bersubsidi.

Ekonom Senior Bank Standard Chartered, Fauzi Ichsan mengungkapkan, kenaikan BBM juga akan mengurangi selisih antara harga jual BBM dengan harga keekonomian. Selisih harga itu

"Sekarang dijual Rp 6.500 per liter padahal harga keekonomian Rp 11 ribu. Itu yang akan memicu penyelundupan-penyelundupan, dan migrasi BBM subsidi ke non subsidi," katanya di Hotel JW Marriot, Jakarta, Rabu (16/4/2014).

Menurut Fauzi, kenaikan tersebut lebih baik dilakukan pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebelum habis masa jabatannya pada bulan Oktober 2014. Sementara kenaikan harga BBM sendiri dinilainya paling tepat sekitar 30%.

Hal itu lebih disebabkan agar presiden baru nantinya tidak akan terbebani masalah subsidi dan lebih menggunakan subsidi untuk peningkatan infrastruktur Indonesia.

"Kalau DPR setuju bisa dilakukan pemerintahan SBY, kalaupun belum terealisasi bisa dilakukan antara Oktober hingga Desember, karena kalau DPR ganti toh sudah disetujui DPR saat ini," terangnya.

Namun, lanjut dia, apabila harga BBM tidak dinaikkan itu akan memicu krisis di Indonesia dalam jangka waktu ke depan dan memicu resiko defisit APBN akan melampaui 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Fauzi optimistis DPR akan menyetujui revisi alokasi anggaran APBN terutama mengenai alokasi subsidi terhadap BBM, karena itu akan mempengaruhi reputasi serta memicu permasalahan hukum DPR kali ini.

"Dan wacana tersebut sangat mungkin disetujui oleh DPR, karena kalau misal alasannya menjaga agar defisit APBN tidak melampau 3% dari PDB itu adalah alasan hukum, yang kalau dilampaui itu Presiden, Pemerintah dan DPR bisa disalahkan," kata Fauzi.