Liputan6.com, Jakarta - Selain kebijakan konverter kit dan tabung compressed natural gas (CNG), pemerintah merasa perlu ada program konversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG) bagi kendaraan bermotor khususnya roda empat.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Gaikindo Rizwan Alamsjah mengatakan bahwa program tersebut merupakan program yang baik, meskipun belum dapat dipastikan apakah cocok diterapkan di Indonesia. Hal ini karena jumlah SPBG yang tersedia masih sangat terbatas.
"Secara teknologi harus dipastikan lagi ke prinsipal, apakah akan diterapkan dual bahan bakar itu. Tapi rasanya untuk BBG masih kurang belum banyak jaringannya," ujarnya di Jakarta, seperti ditulis Jumat (18/4/2014).
Namun Rizwan mengaku bahwa program tersebut bisa tetap bisa diterapkan, seperti yang telah diterapkan oleh Thailand.
Namun dia menilai program ini tidak bisa diterapkan diseluruh wilayah Indonesia dan hanya memungkinkan di beberapa daerah tertentu saja.
"Karena infrastrukturnya belum menunjang, kalau transajakarta bisa memakai BBG karena hanya ada satu perusahaan, dan hanya dipakai di satu daerah tertentu.Tapi kalau ATPM itu kan untuk masyarakat umum, dan tidak cuma di daerah tertentu, jadi susah juga," lanjutnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, jika kebijakan ini diterapkan maka harga kendaraan akan menjadi lebih mahal, meski kenaikannya tidak akan terlalu signifikan. Ini karena harus ada investasi tambahan yang dikeluarkan produsen.
Hal tersebut berbeda dengan mobil listrik yang biaya produksinya bisa dua kali lipat dari biaya produksi mobil berbahan bakar minyak sehingga harus ada subsidi dari pemerintah untuk mobil listrik ini.
"Tapi kalau dual bahan bakar seperti itu tidak terlalu signifikan kenaikanya, sehingga kurang perlu buat minta insentif," tandasnya.
Seperti diketahui, Kementerian ESDM berencana menyusun Surat Keputusan Bersama (SKB) dengan Kementerian Perindustrian. Dalam SKB, nantinya program ini akan disebut sebagai program kendaraan hybrid dan diharapkan dapat keluar sebelum 2016.