Liputan6.com, Jakarta - Produk minyak kelapa sawit olahan atau crude palm oil (CPO) asal Indonesia hingga saat ini masih menjadi perdebatan di Uni Eropa. Negara-negara di kawasan tersebut menilai produk CPO dari Indonesia tidak ramah lingkungan dan tidah berkelanjutan (suistanable).
Bahkan sertifikasi produk CPO dari Indonesia yaitu Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dinilai oleh Uni Eropa masih belum sesuai dengan standar sertifikasi internasional yaitu Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
Wakil Menteri Perdagangan, Bayu Krisnamurthi mengatakan, seharusnya ISPO yang sudah dimiliki oleh pengusaha CPO dalam negeri sudah cukup meyakinkan Uni Eropa akan produk CPO dari Indonesia.
"ISPO itu adalah regulasi yang harus dijalankan oleh perusahaan kita sendiri, kalau sudah ada ISPO, tidak perlu ada proses ulang RSPO," ujar Bayu di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Senin (21/4/2014).
Menurut Bayu, komponen yang ada pada RSPO sebagian sudah ada pada ISPO. Selain itu, jika semua produk CPO Indonesia dipaksakan memiliki RSPO, maka akan sangat memberatkan pengusaha kecil sekelas petani.
"Ada kajian yang menyatakan bahwa komponen yang pada ISPO sama dengan RSPO. Kalau tetap dipaksa untuk RSPO akan merugikan petani kecil, karena harus mengulang prosesnya, ini memberatkan. Tapi secara keseluruhan masih dalam proses negosiasi," lanjutnya.
Meski demikian, Bayu juga mengakui bahwa saat ini belum semua pengusaha CPO memiliki ISPO meskipun sertifikasi ini sudah diterapkan.
Namun hal tersebut hanya persoalan proses untuk mendapatkan sertifikasinya saja, sedangkan ketentuan pengolahan CPO yang ada didalam ISPO sudah dijalankan oleh para pengusaha.
"Kami memang belum mengeluarkan kebijakan yang mengharuskan bahwa yang ekspor CPO harus memiliki ISPO, itu belum kami wajibkan, tetapi akan kami wajibkan secepatnya. Ini hanya tinggal masalah sertifikasnya saja, karena dalam praktik sudah dijalankan," tandasnya.