Sukses

BCA Bantah Kasus Pajak, Ini Pembelaannya

Bank BCA mengklarifikasi kasus dugaan permohonan keberatan pajak senilai Rp 5,7 triliun yang menyeret nama mantan Ketua BPK Hadi Poernomo.

Liputan6.com, Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) mengklarifikasi kasus dugaan permohonan keberatan pajak senilai Rp 5,7 triliun yang menyeret nama mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Poernomo. Kasus itu terjadi pada kurun waktu 2002-2004 saat Hadi Poernomo menjadi Dirjen Pajak.

Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja menegaskan pihaknya sebagai Wajib Pajak (WP) telah memenuhi kewajiban dan menjalankan haknya melalui prosedur serta tata cara perpajakan yang benar sesuai dengan peraturan pajak yang berlaku.

"BCA tidak melanggar Undang-undang (UU) maupun peraturan perpajakan yang berlaku. Pada 2000, kami resmi menjadi perusahaan terbuka (Innitial Public Offering/IPO), di mana sebelumnya kami mendapatkan tax clearence, sehingga kami telah melaksanakan hak dan kewajiban sebagai WP," tandas dia dalam Konferensi Pers di kantornya, Jakarta, Selasa (22/4/2014).

Demi meluruskan pemberitaan yang beredar, Jahja membeberkan kronologis perpajakan BCA di tahun fiskal 1999, yakni :

1. Pada 1998, BCA mengalami kerugian fiskal sebesar Rp 29,2 triliun yang merupakan akibat dari krisis ekonomi. Berdasarkan UU, maka kerugian itu dapat dikompensasikan dengan penghasilan (tax loss carry forward) mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai 5 tahun. Selanjutnya sejak 1999, BCA sudah mulai membukukan laba fiskal sebesar Rp 174 miliar.

2. Dari pemeriksaan pajak yang dilakukan pada 2002, Ditjen Pajak telah melakukan koreksi laba usaha periode tersebut menjadi sebesar Rp 6,78 triliun. Dari nilai itu, terdapat koreksi yang terkait dengan transaksi pengalihan aset termasuk jaminan sebesar Rp 5,77 triliun.

Lalu dilakukan proses jual beli dengan BPPN yang tertuang dalam perjanjian jual beli dan penyerahan piutang No. SP-165/BPPN/0600. Hal ini dilakukan sejalan dengan instruksi atau surat keputusan bersama (SKB) Menteri Keuangan No 117/KMK.017/1999 dan Gubernur Bank Indonesia (BI) No 31/15/KEP/GBI tertanggal 26 Maret 1999.

3. Transaksi pengalihan aset tersebut merupakan jual beli piutang, namun Ditjen Pajak menilai transaksi itu sebagai penghapusan piutang macet. Sehubungan dengan hal-hal tersebut, maka pada 17 Juni 2003, BCA mengajukan keberatan kepada Ditjen Pajak atas koreksi pajak yang telah dilakukan. Keberatan yang disampaikan BCA diterima Ditjen Pajak dan dinyatakan dan SK No KEP-870/PJ.44/2004 tertanggal 18 Juni 2004.

"Kami melaksanakan instruksi dari Menkeu dan Gubernur BI untuk mengalihkan aset pinjaman macet, pinjaman direstruktur, termasuk agunan dan jaminan ke BPPN sesuai arahan. Nah Ditjen Pajak melihat kasus ini sebagai penghapusan NPL, jadi ada perbedaan pendapat," terang Jahja.

Pada saat berakhirnya masa kompensasi kerugian pajak di 1998, kata dia, masih terdapat sisa kompensasi yang belum digunakan sebesar Rp 7,81 triliun.

"Kalau seandainya keberatan BCA atas koreksi pajak senilai Rp 5,77 triliun tidak diterima Ditjen Pajak, terdapat sisa penghasilan yang dapat dikompensasikan sebesar Rp 2,04 triliun. Sisa tersebut tidak bisa dipakai lagi alias hangus setelah 2003," tukas Jahja.