Liputan6.com, Jakarta - Manajemen PT Bank Central Asia Tbk lebih selektif dalam memberikan pinjaman kepada korporasi. Apalagi kalau korporasi itu masih mencatatkan kinerja kurang baik.
PT PLN (Persero) membukukan rugi Rp 29,6 triliun pada 2013 dibandingkan realisasi pencapaian 2012 yang untung Rp 3,2 triliun. Akibat kerugian itu, PLN pun tidak menyetorkan dividennya kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Melihat kinerjanya tersebut, Bank Central Asia (BCA) mengaku akan lebih selektif dalam pemberian kredit kepada perusahaan kelistrikan terbesar di Indonesia itu.
Advertisement
"Kami akan lebih selektif, kami lihat per kasus dulu kalau mau memberikan pinjaman," ungkap Direktur Utama BCA Jahja Setiaadmadja saat berbincang dengan Liputan6.com yang ditulis Rabu (23/4/2014).
Dalam seleksinya, Jahja mengungkapkan pemberian pinjaman akan dilakukan dengan syarat penjaminan bukan dari perseroan melainkan langsung dari pemerintah.
Dia mencontohkan, pemberian pinjaman oleh BCA ke PLN yang pernah dilakukannya dalam proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mencapai 10 ribu Mega Watt (MW) yang dicanangkan pemerintah.
"Seperti yang dulu soal 10.000 Mega Watt itu pemerintah yang jamin. Kalau proyek bagus kami terus support, tapi ya itu tadi penjaminannya harus jelas," tegas Jahja.
Dalam proyek tersebut Jahja mengaku telah berpartisipasi dengan memberikan pinjaman jangka panjang kepada pemerintah melalui PLN sekitar Rp 1 triliun.
Seperti diketahui, kerugian yang dialami PLN dipicu dari depresiasi rupiah pada 2013. Direktur Utama PT PLN (Persero), Nur Padmuji mengatakan, nilai tukar rupiah terpuruk membuat pihaknya mengalami rugi sekitar Rp 29,5 triliun. Nilai tukar rupiah melemah 20,7% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Lalu rupiah melemah 3,6% terhadap Yen.
Hal ini menyebabkan nilai utang PLN dan utang sewa pembiayaan atas penerapan ISAK 8 terhadap transaksi dengan independent power producer (IPP) yang didominasi oleh pinjaman valas meningkat secara tajam.
"Penurunan laba bersih terutama disebabkan oleh peningkatan rugi selisih kurs atas penjabaran liabilitas moneter dalam mata uang asing yang bersifat non cash sebesar Rp 42,2 triliun dan peningkatan beban bunga sebesar Rp 5,5 triliun," ujar Nur.