Liputan6.com, Jakarta - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika serikat (AS) sepanjang tahun lalu hingga 26% memukul kinerja keuangan PT PLN (Persero). Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kelistrikan ini membukukan rugi kurs sampai Rp 48 triliun sehingga tak mampu menyetor dividen ke pemerintah.
"Rugi cost tahun lalu Rp 48 triliun karena perbedaan selisih kurs antara perbedaan waktu awal dan akhir tahun. Jadi tidak ada dividen di 2013," ujar Direktur Utama PLN, Nur Pamudji di Jakarta, Jumat (25/4/2014).
Rugi kurs, jelas dia, menyebabkan utang perusahaan pelat merah itu membumbung tinggi karena terjadi penguatan valas. Pasalnya, sambung Nur, pihaknya mengandalkan utang luar negeri untuk membangun pembangkit listrik, misalnya di Suralaya dan lainnya.
"Utang kami dalam valas, seperti dolar AS, yen dan lainnya dengan peminjaman terbesar dari Bank Dunia, ADB, Jepang dan Jaica. Jadi begitu kurs berubah, utang jadi bengkak dan neraca keuangan rugi," ujar Nur.
Dia mengaku, tak dapat berutang dalam denominasi rupiah mengingat pasokan rupiah di pasaran sangat kurang. Padahal, PLN juga memperoleh utangan dari perbankan BUMN sebagai dana investasi.
"Rupiah nggak cukup ketersediaannya untuk membangun pembangkit listrik. Kapasitas rupiah sekali, maunya dicetak saja rupiahnya. Kapasitas peminjaman di dalam negeri juga terbatas, makanya utang ke luar negeri," papar dia.
Nur berharap, nilai tukar rupiah tahun ini bisa lebih stabil sehingga dapat meminimalisir dampak tersebut terhadap kinerja keuangan PLN. "Ya kalau nggak mau rugi kurs, jangan utang dalam valas, tapi rupiah saja," candanya.
Alasan PLN Ketergantungan Utang Luar Negeri
PLN membutuhkan pinjaman luar negeri untuk membiayai pembangunan pembangkit listrik lantaran pasokan rupiah terbatas.
Advertisement