Liputan6.com, Jakarta Penerimaan pajak sektor perbankan belakangan menjadi sorotan pasca ditetapkannya Hadi Purnomo, mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus keberatan pajak PT Bank Central Asia Tbk (BCA) pada 1999 saat ia menjabat sebagai Direktur Jendral Pajak.
Ah Maftuchan, Peneliti Kebijakan Publik Perkumpulan Prakarsa, mengungkapkan potensi kerugian negara atas pendapatan pajak dari sektor perbankan masih cukup tinggi.
"Hasil investigasi dan kajian kami menemukan potensi kerugian negara dari penerimaan pajak yang bersumber dari sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya tiap tahunnya lebih kurang Rp 10 triliun hingga Rp 12 triliun," ungkapnya di Jakarta, Jumat (25/4/2014).
Advertisement
Maftuchan menjelaskan kajian yang dilakukannya tersebut merupakan kajian yang diarahkan untuk melihat seberapa jauh potensi pajak dari beberapa sektor dan penerimaan pajak yang seharusnya negara dapatkan.
Sebagai negara yang memiliki karakter penduduk yang konsumtif dan berjumlah sekitar 250 juta jiwa, ia memandang penyerapan pajak masih sangat minim.
"Tax ratio atau perbandingan penerimaan perpajakan dengan produk domestik bruto (PDB) kita masih kecil yaitu di 12%, padahal negara yang lebih miskin dari kita itu sekitar 14%-15%, seharusnya kalau midle income seperti Indonesia itu 20%-21%," jelasnya.
Maka dari itu, Maftuchan memandang kasus Hadi Poernomo dan BCA seharusnya dapat dijadikan pintu masuk bagi KPK untuk memberantas tindak penggelapan pajak dari sektor perbankan.
"KPK jangan hanya berhenti pada Hadi Purnomo karena tidak menutup kemungkinan ada pejabat lain di Direktorat Pajak lainnya yang terlibat dalam kasus BCA ini. KPK harus segera mengembangkan kasus ini terhadap kemungkinan adanya tindak kejahatan perpajakan yang dilakukan oleh BCA dan korporasi perbankan lainnya," pungkasnya.