Sukses

Kekurangan TKI, Bisnis Minyak Sawit Malaysia Goyah

Penurunan jumlah TKI yang melamar pekerjaan di sektor bisnis minyak sawit Malaysia tercatat memperburuk krisis pekerja di bidang tersebut

Liputan6.com, Kuala Lumpur Penurunan jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) yang melamar pekerjaan di sektor bisnis minyak sawit Malaysia tercatat memperburuk krisis pekerja di industri tersebut. Akibatnya, Malaysia harus mengorbankan sebagian pendapatan ekspor dari produsen minyak nabati terbesar kedua di dunia tersebut.

Seperti dikutip dari Reuters, Senin (28/4/2014), Indonesia dan Malaysia tercatat menyumbang sekitar 85% produk minyak sawit global yang digunakan sebagai bahan pangan seperti margarin dan biskuit. Sementara peningkatan ekonomi Indonesia juga menjadi ancaman tersendiri bagi sektor minyak sawit di Tanah Air mengingat gejolak urbanisasi dapat menyebabkan kelangkaan tenaga kerja di daerah.

Selama ini, Malaysia sangat bergantung pada tenaga kerja dari Indonesia untuk memenuhi kebutuhan buruh di perkebunannya. Para TKI biasanya dipekerjakan untuk memanen buah kelapa sawit dari sejumlah pohon yang mampu tumbuh hingga setinggi 20 meter.

Pekerjaan tersebut tentu saja sangat sulit untuk digantikan dengan mesin. Sayangnya, saat ini, jumlah TKI yang berminat untuk bekerja di Malaysia terus berkurang.

Menurut data yang dikeluarkan Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur, Jumlah TKI yang mencoba mencari peruntungan di Malaysia tercatat merosot drastis menjadi 38 ribu pelamar dari 120 ribu lebih peminat dalam kurun waktu dua tahun terakhir.

Kemerosotan minat TKI untuk bekerja di luar negeri disebabkan tingginya upah di negeri sendiri dan tingginya urbanisasi yang terjadi di Indonesia.

"Beberapa dari mereka (TKI) tak lagi tertarik bekerja di perkebunan. Jika saya memiliki peralatan yang memadai, saya akan pulang ke Indonesia dan membuka bisnis sendiri," ungkap Abdul Rahim, salah seorang TKI yang bekerja di perkebunan minyak sawit Malaysia.

Sejauh ini, para analis dan pengelola industri minyak sawit memprediksi, pengusaha sektor tersebut dapat mengalami penurunan produksi 5% hingga 10% setiap tahunnya karena kekurangan tenaga kerja. Kondisi tersebut sekaligus mengurangi total pendapatan eskpor Malaysia sebesar 2,5 miliar ringgit setiap tahunnya.

Sementara pada 2013, ekspor minyak sawit Malaysia merosot menjadi 45,27 ringgit ke level terendah sejak 2010. Total ekspornya juga tercatat merosot hingga 6%.

Dihadapkan dengan kelangkaan tenaga kerja, para pengusaha perkebunan Malaysia menghadapi pilihan yang sulit antara menaikkan upah atau menambah pegawai. Kedua pilihan tersebut berpotensi mengurangi laba bersih dari seluruh bisnisnya.

"Kami tak lagi punya cukup tenaga kerja.Kalau saja kami memiliki jumlah tenaga kerja yang cukup, semua pekerjaan akan lebih efektif dan kami dapat mengurangi jumlah kerugian yang sekarang telah mencapai miliaran ringgit," keluh Danish-Malaysian United Plantations, Carl Bek-Nielson.