Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha meminta pemerintah agar bergerak cepat melaksanakan swasembada gula di Tanah Air. Pasalnya sebagai negara agraris, saat ini Indonesia malah menjadi importir gula ketiga terbesar di dunia.
Padahal, menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Tito Pranolo, pada periode 1930-an, Indonesia pernah menjadi ekspotir gula kedua terbesar di dunia. Kondisi tersebutb jauh berbeda dibandingkan saat ini.
"Keinginan pemerintah untuk mencapai swasembada gula mestinya tetap menjadi tujuan, meskipun pada tahun ini tidak akan tercapai. Indonesia punya potensi untuk itu, karena pernah menjadi eksportir kedua tahun 1930-an, sekarang malah menjadi importir ke 3 terbesar," ujar dia dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (28/4/2014).
Hal yang harus dilakukan pemerintah, tutur Tito, antara lain dengan menambah lahan pertanian tebu sebesar 350 hektar (ha) dari yang ada saat ini hanya seluas 470 ha.
Target ini diakui cukup besar. Namun, masalah lahan harus menjadi prioritas agar swasembada tercapai.
Paling tidak lahan pertanian tebu harus ditambah 800 ha. "Ini memang sepertinya besar, tetapi masih kalah dibanding Thailand yang punya 1,2 juta ha area tebu," lanjut dia.
Untuk dapat merealisasikan penambahan lahan pertanian tebu seluas 350 ha tersebut dikatakan harus oleh pemerintah. Pasalnya jika ini dilakukan swasta, maka hal tersebut akan sulit terjadi. Jika lahan ada baru dibeli oleh investor.
Selain masalah lahan, persoalan pembangunan 14 pabrik baru dan revitalisasi pabrik penggilingan gula yang ada juga harus menjadi perhatian pemerintah. Pasalnya pabrik yang ada saat ini merupakan pabrik warisan jaman penjajahan Belanda.
Dengan kondisi tersebut produksi gula yang dihasilkan memiliki kualitas yang rendah. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman dibutuhkan gula dengan kualitas yang baik. "Dengan ada revitalisasi, maka kapasitas produksi pabrik bisa naik dari 3 ribu ke 6 ribu ton," jelasnya.
Namun, untuk melakukan revitalisasi ini juga tidak bisa diserahkan oleh pihak swasta, pemerintah barus berperan besar dalam hal ini. Terlebih lagi, proses revitalisasi ini membutuhkan waktu paling tidak 7-8 tahun.
"Revitalisasi ini tidak cukup 1 masa kepemimpinan. Selama 7-8 tahun itu, keuntungan yang didapatkan industri gula harus diinvestasikan balik. Oleh sebab itu kalau diserahkan hanya kepada perusahaan BUMN tidak akan bisa karena direksinya bukan pemilik perusahaan. Yang berhak itu pemerintah, makanya yang merevitaslisasi ini pemerintah," ungkap dia.
Menurut dia, jika pemerintah gagal menambah lahan pertanian tebu dan juga gagal dalam melakukan revitalisasi ini, maka Indonesia terancam akan menjadi negara importir gula kedua terbesar di dunia.
Advertisement
"Kalau ini gagal dilakukan impor makin besar, dan kita bisa jadi impotir kedua terbesar," tandas dia.